Ahlan wa sahlan

BULAN MUHARROM & HARI 'ASYURO'



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين الذي هدانا لهذا الدين وما كنا لنهتدي لولا أن هدانا الله وأشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله، أما بعد

Saudaraku yang dimuliakan oleh Alloh ta'ala, sehubungan dengan masuknya kita kaum muslimin ke dalam bulan Muharrom ini, maka pada kali ini akan disebutkan di sini beberapa keutamaan dan hukum-hukum yang berkaitan dengan bulan yang mulia ini secara umum. Semoga Alloh ta'ala memberikan kepada kita ilmu yang bermanfaat dan dapat mengantarkan kita menuju amalan yang sholeh, sehingga dengannya akan mendatangkan keridhoan-Nya.

Muharrom adalah bulan suci (bulan harom)

Bulan Muharrom merupakan salah satu bulan suci umat Islam berdasarkan Al Kitab dan As Sunnah. Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menerangkan nama-nama bulan-bulan harom (suci) tersebut dalam sabda beliau:

إن الزمان قد استدار كهيئته يوم خلق الله السموات والأرض، السنة اثنا عشر شهرا، منها أربعة حرم، ثلاثة متواليات: ذو القعدة، وذو الحجة، والمحرم، ورجب شهر مضر الذي بين جمادى وشعبان

"Sesungguhnya zaman (tahun) ini telah berputar sesuai dengan aslinya ketika Alloh menciptakan langit dan bumi. Setahun dua belas bulan, diantaranya empat bulan harom, tiga bulan berturut-turut: Dzulqo'dah, Dzulhijjah, Muharrom dan keempat adalah Rojab yang diagungkan kabilah Mudhor yang berada diantara bulan Jumada (Al-Akhiroh) dan Sya'ban." (HR. Bukhori dan Muslim dari Abu Bakroh rodhiyallohu 'anhu)

Alloh tabaroka wa ta'ala berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia:

إن عدة الشهور عند الله اثنا عشر شهرا في كتاب الله يوم خلق السماوات والأرض منها أربعة حرم ذلك الدين القيم فلا تظلموا فيهن أنفسكم وقاتلوا المشركين كافة كما يقاتلونكم كافة واعلموا أن الله مع المتقين

"Sesungguhnya jumlah bulan dalam hukum Alloh dan yang telah termaktub dalam lauhul mahfudz itu adalah sebanyak dua belas bulan, pada hari diciptakannya langit dan bumi. Diantaranya adalah empat bulan harom (bulan suci). Alloh telah mengharomkan di dalamnya peperangan (yaitu Dzulqo'dah, Dzulhijjah, Muharrom dan Rojab). Itulah agama yang lurus, maka janganlah kalian berbuat dholim terhadap diri-diri kalian di bulan-bulan itu, lantaran keharoman perbuatan dholim di dalamnya lebih besar dan dosanya lebih besar daripada di bulan-bulan lainnya." (lihat Tafsir Muyassar QS. At-Taubah: 36)

Alloh ta'ala menyebutkan secara khusus bulan-bulan harom tersebut dan melarang perbuatan kedholiman serta melipat gandakan dosa kedholiman tersebut di dalamnya sebagai bentuk pemuliaan terhadap bulan-bulan tersebut, meskipun perbuatan kedholiman tersebut terlarang pula di setiap waktu dan zaman. (Jami' li Ahkamil Quran, Al Qurthubi)

Keutamaan dan amalan di bulan Muharrom

Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم، وأفضل الصلاة بعد الفريضة صلاة الليل

"Seutama-utama puasa setelah Romadhon adalah puasa pada bulan Alloh Muharrom dan seutama-utama sholat setelah ibadah sholat wajib adalah sholat malam." (HR. Muslim dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu)

Dalam hadits ini, Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam telah menamai Muharrom sebagai bulan Alloh yang hal ini menunjukkan akan keutamaan dan fadhilahnya. Sesungguhnya Alloh ta'ala tidaklah menyandarkan sesuatu kepada-Nya, melainkan sesuatu tersebut merupakan makhluk-Nya yang dikhususkan, sebagaimana Ka'bah disebut sebagai rumah Alloh secara khusus, sebagaimana dalam firman Alloh ta'ala:

وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَنْ طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ

"Kami telah mewahyukan kepada Ibrohim dan anaknya Ismail: "Sucikanlah rumah-Ku itu (Ka'bah) dari segala najis dan kotoran untuk orang-orang yang melakukan ibadah thowaf di dalamnya dengan mengelilingi Ka'bah atau i'tikaf dan sholat di masjidil harom." (Tafsir Muyassar QS. Al Baqoroh: 125)

Demikian juga para Nabi-Nabi seperti Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam, Ibrohim, Ishaq, Ya'qub dan selain mereka disebut sebagai para hamba Alloh secara khusus, sebagaimana dalam firman Alloh:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا

"Alloh memuji-muji diri-Nya dan mengagungkan urusan-Nya dikarenakan kekuasaan-Nya atas segala sesuatu yang tidak ada seorangpun yang berkuasa selain-Nya. Tiada sesembahan yang haq selain-Nya. Tiada Robb selain-Nya. Dialah yang memperjalankan hamba-Nya Muhammad shollallohu 'alaihi wa sallam di malam hari dengan roh dan jasadnya dalam keadaan terjaga dan bukan mimpi dari masjidil harom di Mekkah menuju masjidil aqsho di Baitul Maqdis yang diberkahi sekelilingnya oleh Alloh dalam pertanian, buah-buahan dan sebagainya serta Alloh menjadikannya tempat kediaman banyak Nabi guna menyaksikan keajaiban kekuasaan Alloh dan tanda-tanda keesaan-Nya." (Tafsir Muyassar QS. Al Isro': 1)

Firman Alloh ta'ala:

وَاذْكُرْ عِبَادَنَا إِبْرَاهِيمَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ أُولِي الْأَيْدِي وَالْأَبْصَارِ

"Ingatlah -wahai Rosul- kepada hamba-hamba dan Nabi-Nabi-Ku: Ibrohim, Ishaq dan Ya'qub. Mereka itu adalah orang-orang yang mempunyai kekuatan dalam ketaatan kepada Alloh serta bashiroh dalam agama-Nya." (Tafsir Muyassar QS. Shod: 45) (Latho'iful Ma'arif, hal.36)

Selain itu di sini juga terdapat suatu isyarat bahwa bulan ini dijadikan sebagai bulan harom oleh Alloh ta'ala sendiri, tidak ada seorangpun yang berhak untuk menghalalkannya. (Ahkam Syahrillah Al Muharrom)

Ibadah puasa di bulan Muharrom

Diantara amalan-amalan yang disunnahkan pada bulan ini adalah memperbanyak ibadah puasa secara umum dan itu merupakan seutama-utama ibadah puasa setelah puasa Romadhon berdasarkan hadits Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu riwayat Muslim tersebut di atas, yaitu:

أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم

"Seutama-utama puasa setelah Romadhon adalah puasa pada bulan Alloh Muharrom."

Para ulama berbeda pendapat tentang maksud hadits tersebut, apakah menunjukkan disunnahkannya berpuasa sebulan penuh ataukah sebagian besar hari-harinya. Adapun menurut dhohir hadits, maka menunjukkan bahwa puasa tersebut disyariatkan untuk dilakukan sebulan penuh.

Sebagian ulama berpendapat, bahwa hadits itu menganjurkan untuk memperbanyak puasa di bulan tersebut dan tidak dilakukan selama sebulan penuh berdasarkan perkataan Ummul Mukminin Aisyah rodhiyallohu 'anha istri beliau tentang puasa beliau shollallohu 'alaihi wa sallam:

"Tidaklah aku pernah melihat Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berpuasa sebulan penuh selain Romadhon. Tidaklah aku pernah melihat beliau memperbanyak puasa selain bulan Sya'ban." (Riwayat Muslim)

Dengan demikian, berpuasa sebulan penuh pada bulan Muharrom tidaklah disunnahkan. Wallohu ta'ala a'lam.

Adapun perbuatan Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dengan memperbanyak puasa di bulan Sya'ban tersebut, maka hal itu dimungkinkan sebelum beliau mengetahui keutamaan bulan Muharrom sebelumnya, kecuali pada akhir-akhir umur beliau dan belum mendapatkan kesempatan untuk mengamalkannya dikarenakan beberapa udzur seperti safar, sakit dan sebagainya. Wallohu a'lam. (Syarah Shohih Muslim, Imam An Nawawi)

Haromnya memulai peperangan di bulan ini

Diantara hukum yang berlaku pada bulan ini adalah diharomkannya untuk memulai peperangan di dalamnya. Para ulama telah berbeda pendapat mengenai pengharoman untuk memulai peperangan di bulan harom:

Pendapat pertama, bahwa larangan tersebut telah mansukh (terhapus) dengan ayat-ayat perang, karena setelah Alloh ta'ala melarang untuk berbuat kedholiman di bukan tersebut, kemudian memerintahkan untuk memerangi kaum musyrikin seluruhnya. Demikian juga, bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dan para sahabat beliau melakukan pengepungan terhadap ahli Tho'if selama empat puluh hari pada bulan harom, yaitu Dzulqo'dah sebagaimana dalam riwayat Bukhori dan Muslim: bahwasanya beliau keluar menuju Hawazin pada bulan Syawwal. Setelah beliau mengalahkan mereka hingga kocar-kacir dan berlarian minta perlindungan ke Tho'if, maka beliau menuju Tho'if dan mengepungnya selama empat puluh hari.

Pendapat kedua, bahwa larangan untuk memulai peperangan di bulan tersebut harom dan tidak terhapus hukumnya, sebagaimana firman Alloh:

الشَّهْرُ الْحَرَامُ بِالشَّهْرِ الْحَرَامِ وَالْحُرُمَاتُ قِصَاصٌ فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

"Peperangan kalian -wahai kaum mukminin- terhadap kaum musyrikin di bulan yang Alloh telah mengharomkannya untuk berperang adalah bagian dari peperangan mereka terhadap kalian di bulan harom. Siapa yang melanggar apa yang telah diharomkan oleh Alloh, baik pada waktu dan tempat, maka hal itu dibalasi sesuai dengan jenis perbuatannya. Siapa yang menyerang kalian, maka balaslah dengan setimpal dan tidak ada dosa atas kalian pada yang demikian itu, karena merekalah yang telah memulainya. Takutlah kepada Alloh, maka janganlah kalian melampaui batas dalam membalasinya. Ketahuilah bahwa Alloh itu bersama orang-orang yang bertakwa kepada-Nya serta mentaati-Nya dengan menjalankan kewajiban dan menjauhi larangan-Nya." (Tafsir Muyassar QS. Al Baqoroh: 194)

Juga firman-Nya:

فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

"Jika bulan-bulan harom yang empat itu telah lewat, maka umumkanlah peperangan terhadap musuh-musuh Alloh di manapun mereka berada. Maka kepunglah, intailah mereka di jalan-jalan mereka. Jika mereka meninggalkan kekufuran mereka dan masuk Islam serta melaksanakan syariatnya dengan menegakkan sholat dan menunaikan zakat, maka lepaskanlah mereka. Sungguh mereka telah menjadi saudara kalian dalam Islam. Sesungguhnya Alloh itu Ghofur, maha mengampuni siapa yang bertaubat dan kembali kepada-Nya serta Rohim, maha menyayangi mereka." (Tafsir Muyassar QS. At Taubah: 5)

Pendapat kedua inilah yang lebih kuat, sebagaimana yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir rohimahulloh dalam tafsirnya. Adapun perintah untuk memerangi kaum musyrikin secara keseluruhan tersebut merupakan hukum tersendiri yang terpisah dengan larangan berbuat kedholiman sebelumnya. Perintah tersebut untuk membangkitkan atau mengobarkan semangat juang kaum muslimin untuk memerangi kaum musyrikin seluruhnya ketika mereka mulai menyerang kaum muslimin. Ini merupakan ijin bagi kaum muslimin untuk memerangi kaum musyrikin di bulan harom ketika mereka memulai terlebih dahulu menyerang kaum muslimin. Hal ini seperti dalam ayat tentang larangan memulai peperangan di masjidil harom sampai mereka datang memulai menyerang terlebih dahulu:

وَلَا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ

"Janganlah kalian memulai berperang di masjidil harom dalam rangka memuliakan keharomannya (kesuciannya) sampai mereka memulai menyerang kalian di dalamnya. Jika mereka memerangi kalian di masjidil harom, maka perangilah mereka di dalamnya. Seperti itulah balasan bagi orang-orang yang kafir itu." (Tafsir Muyassar QS. Al Baqoroh: 191)

Demikian juga pada peristiwa pengepungan Tho'if, maka itu adalah sambungan dari peperangan di Hawazin. Awalnya merekalah yang mendahului menyerang kaum muslimin pada bulan Syawwal dan berhasil dipukul mundur, kemudian kaum muslimin mengejar mereka sampai ke benteng Tho'if dan mengepung mereka selama empat puluh hari (sampai bulan Dzulqo'dah), sebelum kembali ke Madinah. (Tafsir Ibnu Katsir QS. At Taubah: 36)

Hari 'Asyuro' dan keutamaan serta hikmah puasa harinya

Hari 'Asyuro' adalah hari kesepuluh bulan Muharrom (10 Muharrom) yang mempunyai keistimewaan tersendiri dibanding hari-hari lainnya di bulan itu. Hari 'Asyuro' adalah hari diselamatkannya Nabi Musa 'alaihis salam dan kaumnya oleh Alloh ta'ala dan ditenggelamkannya Fir'aun dan bala tentaranya di lautan. Maka Nabi Musa 'alaihis salam melakukan puasa pada hari itu sebagai bentuk rasa syukur atas pertolongan Alloh tersebut. Kemudian Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam juga berpuasa pada hari itu, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits Ibnu Abbas rodhiyallohu 'anhuma, beliau berkata:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قدم المدينة فوجد اليهود صيامًا يوم عاشوراء، فقال لهم رسول الله صلى الله عليه وسلم: «ما هذا اليوم الذي تصومونه؟» فقالوا: هذا يوم عظيم أنجى الله فيه موسى وقومه، وغَرَّقَ فرعون وقومه، فصامه موسى شكرًا، فنحن نصومه، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «فنحن أحق وأولى بموسى منكم» فصامه رسول الله صلى الله عليه وسلم وأمر بصيامه

"Ketika Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, maka beliau menemukan bahwa orang-orang Yahudi berpuasa pada hari 'Asyuro'. Lalu beliau menanyakan kepada mereka: "Kalian berpuasa pada hari apa ini?" Mereka mengatakan: "Ini adalah hari yang mulia. Pada hari ini, Alloh telah memenangkan Musa beserta kaumnya dan menenggelamkan Fir'aun beserta bala tentaranya. Maka Musa berpuasa pada hari ini sebagai rasa syukur dan kami juga berpuasa." Maka beliau shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: "Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa daripada kalian." Lalu beliau berpuasa dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa pada hari itu." (Riwayat Bukhori dan Muslim)

Maka hikmah berpuasa pada hari 'Asyuro' tersebut adalah meneladani Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam sebagai wujud rasa syukur dengan diselamatkannya kaum muslimin di zaman Musa 'alaihis salam dan kaumnya dari cengkeraman musuh mereka serta bersyukur atas kebinasaan Fir'aun dan kaumnya tersebut.

Puasa hari 'Asyuro' awalnya diwajibkan hukumnya setelah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam berhijrah ke Madinah, menurut pendapat yang benar dari dua pendapat ulama yang masyhur. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh, sebagaimana dalam Majmu' Fatawa beliau (25/311). Hal itu dikarenakan telah shohih bahwa hal itu adalah perintah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dalam hadits Salamah bin Al Akwa' rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya beliau berkata:

أمر النبي صلى الله عليه وسلم رجلًا من أسلم أن أذن في الناس: أن من كان أكل فليصم بقية يومه، ومن لم يكن أكل فليصم، فإن اليوم يوم عاشوراء

"Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam memerintahkan seseorang dari Aslam untuk mengumumkan kepada manusia bahwa siapa yang telah makan di awal hari 'Asyuro', hendaknya menahan diri (berpuasa) sisa waktu harinya dan siapa yang belum makan, maka hendaknya berpuasa pada hari itu. Sesungguhnya hari ini adalah hari 'Asyuro'." (HR. Bukhori dan Muslim)

Ketika puasa Romadhon diwajibkan pada pertengahan tahun kedua hijriyah, maka dihapuslah kewajiban puasa 'Asyuro' tersebut menjadi mustahab (sunnah) hukumnya. Kemudian Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bertekad untuk berpuasa di hari kesembilan dan kesepuluh Muharrom pada akhir-akhir kehidupan beliau, yaitu pada tahun kesepuluh hijriyah.

Keutamaan puasa 'Asyuro ditunjukkan oleh hadits Abu Qotadah rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya beliau berkata:

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سُئل عن صوم يوم عرفة فقال: يكفر السنة الماضية والباقية، وسئل عن صوم يوم عاشوراء فقال: يُكفر السنة الماضية

"Rosululloh shollalohu 'alaihi wa sallam ditanya tentang puasa hari 'Arofah, maka beliau menjawab: "Menghapuskan dosa-dosa kecil selama setahun yang lalu dan setahun yang akan datang." Beliau ditanya tentang puasa hari 'Asyuro', maka beliau menjawab: "Menghapuskan dosa-dosa kecil selama setahun yang lalu." (HR. Muslim)

Keutamaan tersebut bisa didapatkan oleh seorang muslim yang hanya melakukan puasa pada hari 'Asyuro' saja dan tidak berpuasa sehari sebelumnya (tasu'a) menurut pendapat yang kuat. Jika ia melakukan puasa juga pada hari sebelumnya (puasa dua hari, hari kesembilan dan kesepuluh), maka itu lebih afdhol dan sangat ditekankan serta lebih besar pahalanya dalam rangka menyelisihi ahli kitab, sebagaimana riwayat Ibnu 'Abbas rodhiyallohu 'anhuma:

حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه قالوا: يا رسول الله، إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: فإذا كان العام المقبلُ إن شاء الله صُمنا اليوم التاسع. قال: فلم يأت العام المقبل حتى توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم

"Ketika Rosululoh shollallohu 'alaihi wa sallam berpuasa di hari 'Asyuro' dan memerintahkan manusia untuk berpuasa pula, maka para sahabat mengabarkan kepada beliau: "Wahai Rosululloh, hari itu dimuliakan oleh Yahudi dan Nashrani." Maka Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jika datang tahun depan, insyaalloh kita berpuasa pula pada hari kesembilan." Ibnu 'Abbas berkata: "Belumlah datang tahun mendatang, ternyata Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam telah wafat." (HR. Muslim)

Dalam riwayat lainnya, Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع

"Jika aku masih hidup sampai tahun depan, maka sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan pula."

Dalam riwayat Tirmidzi, beliau shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda:

صوموا التاسع والعاشر، خالفوا اليهود

"Berpuasalah hari kesembilan dan kesepuluh, selisihilah Yahudi." (dishohihkan oleh Syaikh Al Albani rohimahulloh)

Adapun hadits-hadits yang menunjukkan tentang berpuasa sehari sebelum dan sesudah hari 'Asyuro' (berpuasa tiga hari berturut-turut), maka hal itu tidaklah shohih dari Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam, sehingga tidak disunnahkan. Akan tetapi tidak diingkari jika seseorang melakukannya dengan berdasarkan pada beberapa atsar shahabat, seperti atsar Ibnu 'Abbas dan selainnya atau ketika seseorang ragu-ragu dalam menentukan awal bulan Muharrom, sehingga ia melakukan puasa tiga hari berturut-turut dalam rangka mendapatkan hari kesembilan dan kesepuluh. (Syarah Muslim, Imam An Nawawi)

Keutamaan hari 'Asyuro' tersebut ditunjukkan pula dengan kesungguhan Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam untuk meraih keutamaan hari itu, sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh hadits Ibnu 'Abbas rodhiyallohu 'anhuma riwayat Muslim, bahwasanya beliau berkata:

ما علمت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم صام يومًا يطلب فضله على الأيام إلا هذا اليوم، ولا شهرًا إلا هذا الشهر يعني رمضان

"Tidaklah aku mengetahui Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam berpuasa pada suatu hari dengan mencari keutamaan hari tersebut, melainkan hari ini ('Asyuro')."

Demikian pula, kesungguhan para shahabat Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dalam berpuasa pada hari itu, sampai mereka memerintahkan dan melatih anak-anak kecil mereka untuk berpuasa pula, sebagaimana dalam hadits Ar Rubai' binti Mu'awwid bin 'Afro' rodhiyallohu 'anha riwayat Bukhori dan Muslim, bahwasanya beliau berkata:

أرسل رسول الله صلى الله عليه وسلم غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار التي حول المدينة: من كان أصبح صائمًا فليتم صومه، ومن كان أصبح مفطرًا فليتم بقية يومه، فكنا بعد ذلك نصومه ونصوِّم صبياننا الصغار، ونذهب إلى المسجد فنجعل لهم اللعبة من العهن، فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناها إياه حتى يكون عند الإفطار

"Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengutus seseorang pada hari 'Asyuro' menuju kampung-kampung Anshor di sekitar Madinah untuk menyampaikan: "Siapa yang paginya dalam keadaan berpuasa, maka hendaknya meneruskan puasanya dan siapa yang telah berbuka (tidak berpuasa di pagi harinya), maka hendaknya menahan diri (berpuasa) pada sisa harinya." Maka kami setelah itu melakukan puasa dan menyuruh anak-anak kami untuk berpuasa pula. Kami pergi ke masjid bersama anak-anak dengan membawa mainan mereka dari bulu-bulu. Ketika mereka menangis karena lapar, maka kami berikan mainan tersebut kepadanya sampai tiba waktu berbuka puasa."

Empat keadaan puasa Nabi pada hari 'Asyuro'

Terdapat empat keadaan mengenai sejarah puasa Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam pada hari 'Asyuro'. Dalam hadits Aisyah rodhiyallohu 'anha, bahwasanya beliau berkata:

كان عاشوراء يوما تصومه قريش في الجاهلية وكان النبي صلى الله عليه وسلم يصومه فلما قدم المدينة صامه وأمر بصيامه فلما نزلت فريضة شهر رمضان كان رمضان هو الذي يصومه فترك يوم عاشوراء فمن شاء صامه ومن شاء أفطره

"Dahulu 'Asyuro' adalah hari yang orang-orang Quroisy jahiliyah berpuasa padanya. Demikian pula Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam berpuasa pada hari itu. Ketika tiba di Madinah, beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa juga pada hari itu. Setelah turun kewajiban puasa bulan Romadhon, maka beliau berpuasa pada bulan itu dan meninggalkan puasa 'Asyuro'. Maka siapa yang tetap ingin berpuasa, maka silahkan berpuasa dan yang tidak ingin, maka silahkan berbuka." (Riwayat Bukhori dan Muslim) (Latho'iful Ma'arif, hal. 48)

Dari hadits ini dapat disimpulkan tiga keadaan pertama mengenai sejarah puasa beliau shollallohu 'alaihi wa sallam:

Keadaan pertama: dahulu beliau berpuasa ketika masih di Mekkah dan tidak memerintahkan manusia untuk berpuasa.

Keadaan kedua: bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam ketika tiba di Madinah dan melihat para ahli kitab berpuasa dan memuliakan hari itu dan ketika itu beliau lebih menyukai untuk mencocoki ahli kitab pada perkara yang tidak diperintahkan, maka beliau juga berpuasa pada hari itu dan menganjurkan dengan sangat kepada manusia untuk berpuasa juga. (Latho'iful Ma'arif, hal. 49)

Keadaan ketiga: ketika turun kewajiban puasa bulan Romadhon, maka Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam meninggalkan untuk memerintah para sahabat untuk berpuasa pada hari 'Asyuro' dan mempersilahkan mereka memilih antara berpuasa atau tidak. (Latho'iful Ma'arif, hal. 50)

Adapun keadaan keempat adalah bahwasanya Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam pada akhir-akhir kehidupan beliau bertekad untuk tidak melakukan puasa pada hari kesepuluh saja, akan tetapi menambahkan untuk berpuasa pada hari kesembilan Muharrom pula (tasu'a) dalam rangka menyelisihi ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) ketika mereka berpuasa, sebagaimana riwayat Ibnu 'Abbas rodhiyallohu 'anhuma tersebut di atas. (Latho'iful Ma'arif, hal. 51)

Bid'ah-Bid'ah di bulan Muharrom

Telah melakukan berbagai macam kebid'ahan dan kesesatan pada hari tersebut dua kelompok yang saling bertentangan antara satu dengan lainnya:

Kelompok pertama adalah Nawashib (pembenci Ali bin Abi Tholib rodhiyallohu 'anhu dan selainnya dari para shahabat) yang kebanyakan dari mereka adalah Khowarij. Mereka dalam hal ini menyerupai Yahudi. Mereka menjadikan hari itu sebagai hari raya dan kebahagiaan dengan menampakkan syiar-syiar kebahagiaan dengan berhias diri di hari itu layaknya hari raya, seperti menyemir rambut, memakai celak mata, banyak berbelanja, membuat aneka macam makanan di luar kebiasaannya dan sebagainya yang banyak dilakukan pula oleh orang-orang jahil. (Al A'yad wa Atsaruha, hal. 273)

Kelompok kedua adalah Rofidhoh yang menjadikan hari itu sebagai hari berkabung, kesedihan dan niyahah (meratap) dalam rangka mengenang kematian Husain bin Ali rodhiyallohu 'anhuma -menurut mereka- dengan menampakkan syiar-syiar jahiliyah seperti menampar-nampar pipi sendiri, merobek-robek baju yang dikenakannya, memukul-mukul badan dan punggung dengan rantai besi sampai berdarah-darah, melantunkan syair-syair kesedihan dan duka cita serta membaca cerita-cerita yang banyak kedustaan di dalamnya serta diadakan sandiwara-sandiwara tentang mengenang kematian Husain dan sebagainya. Tidak cukup dengan itu saja, akan tetapi mereka juga menjadikan hal-hal itu sebagai sesuatu yang bisa mendatangkan pahala yang besar serta sebagai penghapus dosa-dosa dan mendatangkan rahmat serta menyangka bahwa inilah yang bisa menjaga Islam! Tujuan semuanya itu adalah membuka pintu-pintu fitnah dan memecah belah umat serta upaya menanamkan aqidah mereka yang rusak di benak-benak kaum muslimin. Ini semua adalah amalan orang-orang yang telah tersesat di kehidupan dunianya, sedangkan mereka menyangka telah melakukan suatu kebaikan. (Latho'iful Ma'arif, hal. 54; Al A'yad wa Atsaruha, hal. 263, 265-266)

Sungguh, Alloh ta'ala telah memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada Ahlussunnah, sehingga mereka dapat berbuat adil dan pertengahan di antara dua kelompok sesat tersebut. Ahlussunnah melakukan hal-hal yang disyariatkan dan diperintahkan oleh Nabi mereka shollallohu 'alaihi wa sallam berupa ibadah puasa yang sangat besar keutamaannya disertai dengan penyelisihan terhadap ahli kitab dalam pelaksanaannya dan tidak menyerupai mereka dalam hal ini serta menjauhi apa yang telah dibisikkan oleh syaithon berupa bid'ah-bid'ah dan kemaksiatan lainnya. Maka bagi Allohlah segala pujian dan sanjungan dari hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal sholeh.

Para ulama sunnah telah menetapkan bahwa tidak ada amalan-amalan yang disyariatkan oleh Islam pada hari 'Asyuro' tersebut, melainkan ibadah puasa pada hari itu dan hari sebelumnya. Sedangkan amalan perbuatan selainnya yang telah tersebut sebagiannya di atas, maka tidaklah ada tuntunan atau dalil yang shohih dari Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam menurut kesepakatan ulama ahli hadits, bahkan kebanyakannya adalah riwayat-riwayat palsu yang disandarkan kepada Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam. (Al A'yad wa Atsaruha, hal. 274, 277)

Ibroh dan pelajaran dari hari 'Asyuro'

Beberapa 'ibroh dan pelajaran yang dapat diambil secara umum dari kejadian di bulan suci Muharrom ini di sepanjang perjalanan sejarah adalah sebagai berikut:

1- Pentingnya rasa syukur ketika mendapatkan kesenangan, kebahagiaan serta jalan keluar setelah sebelumnya mengalami kesedihan, kesusahan serta kebuntuan dalam kehidupan. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam:

فصامه موسى شكرًا لله

"Maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai rasa syukur kepada Alloh."

2- Perasaan senang dan gembira dengan pertolongan Alloh ta'ala bagi kaum mukminin ketika Alloh menyelamatkan Musa 'alaihis salam dan kaumnya pada hari itu dari kejaran Fir'aun dan bala tentaranya.

3- Besarnya nilai ibadah puasa dan kedudukannya yang tinggi di sisi Alloh, sebagaimana dalam sebuah hadits qudsi:

كل عمل ابن آدم له إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به

"Setiap amalan anak Adam itu untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya itu adalah untuk-Ku dan Aku akan membalasinya sendiri dengannya." (HR. Bukhori dan Muslim dari Abu Huroiroh rodhiyallohu 'anhu)

4- Bahwasanya seberapa lama pun orang-orang dholim itu berkuasa, maka akibat yang baik dan pertolongan itu akan kembali juga kepada kaum mukminin dengan ijin Alloh ta'ala, akan tetapi terlebih dahulu memang harus melalui tahap ujian kesabaran dan cobaan.

5- Adanya kekuatan dan kedalaman iman pada masyarakat shahabat rodhiyallohu 'anhum serta semangat mereka yang tinggi untuk menanamkan kebaikan pada anak-anak keturunan mereka. Hal ini nampak dari kesungguhan mereka dalam melatih dan mendidik anak-anak mereka untuk beribadah puasa sejak kecil dengan memberikan permainan-permainan ketika mereka merasa lapar, sampai tiba saatnya berbuka.

6- Adanya semangat untuk menanamkan dasar syariat berupa penyelisihan terhadap kaum kafir dan ahli kitab. Hal itu nampak ketika Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam bertekad akan melakukan puasa pula pada hari kesembilan Muharrom dalam rangka menyelisihi mereka.

7- Semangat Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam untuk memberikan kemanfaatan bagi umatnya dengan mensyariatkan bagi mereka amalan-amalan yang tidak terlalu berat untuk dikerjakan, akan tetapi mendapatkan pahala yang besar dan berlipat ganda, yaitu dengan berpuasa sehari saja dapat menghapuskan dosa-dosa kecil selama setahun penuh dengan ijin Alloh.

8- Bersegeranya para shahabat rodhiyallohu 'anhum dalam menaati perintah-perintah Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam untuk melakukan ibadah puasa bagi siapa yang belum makan dan minum pada pagi hari itu dan menahan diri bagi yang telah makan sampai akhir hari 'Asyuro'.

9- Keutamaan dan kenikmatan Alloh ta'ala tidaklah terhitung jumlahnya lagi. Bagi siapa yang banyak berbuat dosa selama setahun yang telah lewat, maka janganlah ia terlewatkan dari mengambil kesempatan untuk bisa menghapuskan dosa-dosanya pada hari itu.

10- Bahwasanya sebaik-baik makhluk adalah para Nabi 'alaihimus salam yang telah diberikan hidayah oleh Alloh kepada mereka. Kita diperintahkan untuk meneladani mereka, sebagaimana firman Alloh:

أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ

"Mereka para Nabi tersebut adalah orang-orang yang telah diberi taufiq oleh Alloh ta'ala dalam agamanya yang haq, maka ikutilah petunjuk mereka -wahai Rosul- dan titilah jalan mereka." (Tafsir Muyassar QS. Al An'am: 90)

Tidaklah mereka mendapatkan keutamaan sebesar itu, melainkan disebabkan oleh kejujuran mereka terhadap Alloh serta kesabaran dalam menaati-Nya serta menerima takdir-Nya. Siapa yang ingin meneladani mereka, musti melakukan kesabaran dan kesungguhan karena Alloh ta'ala. (Syahrulloh Al Muharrom, hal. 14)

Akhirnya, marilah kita menggunakan kesempatan berharga pada hari-hari ini dan memakmurkannya dengan apa yang diridhoi oleh Alloh 'azza wa jalla, sehingga kita termasuk hamba yang dirahmati oleh-Nya subhanahu wa ta'ala. Semoga Alloh ta'ala menolong kita untuk melakukan perbaikan diri-diri kita dengan ikhlash untuk mendapatkan hidayah-Nya yang sempurna. Sesungguhnya Alloh tidaklah mengingkari janji-Nya terhadap hamba-hamba yang berbuat kebaikan.

Wallohu ta'ala a'lam, walhamdulillahi Robbil 'alamin.

Ditulis: Mushlih Abu Sholeh Al Madiuniy -waffaqohulloh- (6 Muharrom 1436)

Sumber:
- At Tafsir Al Muyassar, oleh Nukhbah min Asatidzah At Tafsir, terbitan Majma' Malik Fahd Saudi, th. 1430.
- Latho'iful Ma'arif, karya Ibnu Rojab Al Hanbaliy rohimahulloh; Daar Ibnu Hazm, th. 1424.
- Al A'yad wa Atsaruha 'Alal Muslimin, oleh Sulaiman bin Salim As Suhaimiy, terbitan 'Umadatul Bahts Al 'Ilmi bil Jami'ah Al Islamiyah Al Madinah, th 1424.
- Ahkam Syahrillah Al Muharrom, oleh Nahar 'Utaibiy; terbitan mauqi' Durorus Saniyah.
- Syahrulloh Al Muharrom Fadho'il wa Ahkam, oleh Sulaiman bin Jasir Al Jasir, terbitan Madarul Wathon.

























lembaran-lembaran ilmiah • وما توفيقي إلا بالله • mushlihabusholeh.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar