بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد
Ikhwati fillah, ini adalah terjemahan sebuah tanya-jawab (fatawa) manhaji berkaitan dengan pengertian bid'ah, macam-macamnya serta masalah tabdi' (menghukumi seseorang sebagai ahli bid'ah atau mubtadi') dan hajr (memboikot) ahli bid'ah tersebut. Pertanyaan ini dijawab oleh Fadhilatus Syaikh Al 'Allamah Ahmad bin Yahya An Najmi rohimahullohu ta'ala dalam kitab Al Fatawa Al Jaliyyah 'Anil Manahij Ad Da'awiyyah (2/146-148).
Kemudian, disusul dengan terjemahan bimbingan Syaikhuna Yahya Al Hajuri hafidhohulloh mengenai memvonis seseorang dengan mubtadi' secara syar'i. Selamat menyimak dan semoga bermanfaat...
Pertanyaan ke-93:
"Apakah pengertian bid'ah itu dan kapan saya diperbolehkan untuk mensifati atau memvonis seseorang (sebagai ahli bid'ah atau mubtadi') dengan bid'ah tersebut?"
Jawab beliau:
"Pertama, yang dimaksud dengan bid'ah adalah perbuatan mengada-adakan dalam perkara agama sesuatu yang tidak termasuk dari agama tersebut. Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam sebagaimana dalam hadits Al 'Irbath bin Sariyah rodhiyallohu 'anhu bahwasanya beliau -sholawatulloh wa salamuhu 'alaih- telah memberikan nasehat kepada mereka (para sahabat) dengan nasehat atau wejangan yang berkesan, yang karenanya mengalirlah air mata mereka dan bergetarlah hati-hati mereka. Seseorang dari sahabat mengatakan: "Sungguh, ini adalah nasehat perpisahan, maka apa yang akan Engkau wasiatkan kepada kita, wahai Rosululloh?" Beliau bersabda:
أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبد حبشي فإنه من يعش منكم يرى اختلافا كثيرا وإياكم ومحدثات الأمور فإنها ضلالة فمن أدرك ذلك منكم فعليه بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ
"Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Alloh, mendengar dan taat terhadap pemerintah muslimin, meskipun ia asalnya hanyalah seorang budak Habasyi. Sungguh, siapa yang masih hidup di antara kalian nanti, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama). Sesungguhnya itu adalah kesesatan. Siapa di antara kalian yang menemuinya, maka wajib atasnya untuk memegangi sunnahku dan sunnah para kholifah rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah sunnahku itu dengan gigi-gigi geraham kalian." (HR. Tirmidzi dan beliau berkata: "Ini adalah hadits hasan shohih." Juga dishohihkan oleh Al Albaniy rohimahumalloh)
Jadi, bid'ah adalah perbuatan mengada-adakan perkara (baru) dalam agama dengan membuat sesuatu sebagai ajaran agama yang dipakai manusia untuk beribadah.
Adapun apa yang berkaitan dengan perkara-perkara dunia, maka itu tidak termasuk bid'ah, sebagaimana yang telah terjadi pada kehidupan manusia berupa sarana-prasarana yang memudahkan seperti kendaraan-kendaraan dan industri-industri yang bisa melepaskan manusia dari kecapaian dan kepenatan. Ini tidak dikatakan sebagai bid'ah-bid'ah. Bid'ah itu hanyalah apa yang diada-adakan dalam perkara agama dan dijadikan sebagai ajaran yang digunakan untuk beribadah. Inilah yang disebut dengan bid'ah.
Para ulama membagi bid'ah menjadi dua macam: bid'ah asasiyah (asasi) dan bid'ah idhofiyah (tambahan).
Bid'ah asasiyah adalah seperti bid'ah beribadah dengan nasyid-nasyid (lagu-lagu) yang dilakukan oleh kelompok shufiyah. Perbedaannya dengan bid'ah idhofiyah adalah bahwa bid'ah idhofiyah itu pada sesuatu yang asalnya disyariatkan, seperti dzikir setelah sholat yang ditambahkan oleh para ahli bid'ah dengan tata cara berjama'ah (dzikir jama'i), dengan satu suara (serempak) serta dengan satu irama.
Intinya yang penting adalah bahwa setiap yang diadakan dalam perkara agama, dimaksudkan untuk beribadah kepada Alloh dan belum pernah ada di zaman Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam, maka itu termasuk kebid'ahan.
Kedua, tentang mensifati atau menghukumi seseorang dengan kebid'ahan dan hajr (memboikot) seorang mubtadi' (ahli bid'ah). Hal ini dilakukan kepada siapa yang telah divonis oleh para ulama sebagai mubtadi'. Janganlah kalian terburu-buru -wahai para penuntut ilmu pemula- untuk menghukumi siapa saja dengan tabdi' (vonis mubtadi'), meskipun terdapat kebid'ahan pada dirinya, sampai kalian tunjukkan atau paparkan hal itu kepada ulama' dan mereka menguatkan kalian atau membenarkannya. Tanpa hal ini, maka janganlah kalian melakukan apa-apa dari hal tersebut." (selesai)
Alih bahasa: Mushlih Abu Sholeh -'afallohu 'anhu- (10 Robi'ul Awwal 1436)
Bimbingan Syaikhuna Yahya Al- Hajuriy hafidzohulloh bagi orang yang menghukumi orang lain sebagai ahli bid’ah tanpa ada seorang ulama pun yang mendahuluinya
Berikut ini adalah sebuah penjelasan ringkas dan padat, tetapi begitu gamblang dan bermanfaat, oleh Syaikhuna Yahya Al-Hajuriy -hafidzohulloh- tentang suatu permasalahan yang kerap membuat resah umat, ketika penempatannya tidak tepat.
Penjelasan dan bimbingan ini beliau sampaikan pada pelajaran ba’da maghrib, bertepatan dengan tanggal 13 Romadhon 1431.
Semoga kita bisa mengambil manfaat dan pelajaran darinya.
Pertanyaan:
"Ada seseorang di negara Perancis memvonis seseorang sebagai mubtadi’ (ahli bid'ah), tetapi vonisnya tersebut tidak ada seorangpun dari kalangan ulama yang mendahuluinya?"
Syaikh kami -waffaqohulloh- berkata:
"Ini termasuk dari kekacauan, karena perkara memvonis dengan kefasikan dan kebid’ahan itu kembali (perkaranya) kepada dalil-dalil dengan pemahamannya yang benar dan kokoh di atas metode salaf -ridhwanulloh ‘alaihim- dan yang memahami perkara ini adalah ulama sebagaimana Alloh ‘azza wa jalla telah merekomendasi mereka dalam firman-Nya:
ﻭَﺗِﻠْﻚَ ﺍﻟْﺄَﻣْﺜَﺎﻝُ ﻧَﻀْﺮِﺑُﻬَﺎ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻭَﻣَﺎ ﻳَﻌْﻘِﻠُﻬَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟْﻌَﺎﻟِﻤُﻮﻥَ
“Perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia dan tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al ‘Ankabut: 43)
Juga firman-Nya:
ﻓَﺎﺳْﺄَﻟُﻮﺍ ﺃَﻫْﻞَ ﺍﻟﺬِّﻛْﺮِ ﺇِﻥْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﻟَﺎ ﺗَﻌْﻠَﻤُﻮﻥَ
“Bertanyalah kepada ulama apabila kalian tidak mengetahui.” (QS. Al Anbiya’: 7)
Alloh telah berfirman:
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺟَﺎﺀَﻫُﻢْ ﺃَﻣْﺮٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺄَﻣْﻦِ ﺃَﻭِ ﺍﻟْﺨَﻮْﻑِ ﺃَﺫَﺍﻋُﻮﺍ ﺑِﻪِ ﻭَﻟَﻮْ ﺭَﺩُّﻭﻩُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﺮَّﺳُﻮﻝِ ﻭَﺇِﻟَﻰ ﺃُﻭﻟِﻲ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮِ ﻣِﻨْﻬُﻢْ ﻟَﻌَﻠِﻤَﻪُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺴْﺘَﻨْﺒِﻄُﻮﻧَﻪُ ﻣِﻨْﻬُﻢْ
“Apabila datang kepada mereka berita keamanan atau ketakutan mereka pun menyebarluaskannya. Seandainya saja mereka mengembalikan perkara tadi kepada Rasul dan kepada ulil amri (umaro & ulama) di antara mereka, niscaya orang-orang yang mengambil istinbath dari mereka (Rosul dan ulil amri) akan mengetahuinya.” (QS. An-Nisa’: 83)
Seluruh yang engkau lihat dari pujian-pujian dan pengarahan manusia kepada ulama dan penjelasan bahwasanya merekalah yang memahami perkara-perkara, juga perumpamaan-perumpamaan (tentang mereka). Semua itu menunjukkan bahwa hal ini (menvonis seseorang sebagai ahli bid’ah) adalah urusan ulama. Apabila perkara-perkara itu dikembalikan kepada selain ulama, maka akan timbul pada perkara-perkara tersebut suatu kekaburan, kerancuan dan ketidaktepatan dalam penyelesaian perkara serta tidak mengeluarkannya dengan cara yang benar yang Allah ‘azza wa jalla ridhoi.
Orang-orang yang memiliki kecemburuan terhadap agama Alloh itu banyak; (yaitu) ulama, orang orang awam, para penuntut ilmu dan seluruh kaum muslimin. Terkadang engkau dapati pada seseorang itu kecemburuan (terhadap agama) yang mendorongnya untuk membenci kemungkaran itu, akan tetapi berlebih-lebihan dalam (menyikapinya). Tindakan berlebih-lebihan yang timbul darinya ini akan memudhorotkan masyarakat dan kaum muslimin.
(Di sisi lain), seseorang mempunyai beberapa kemaksiatan-kemaksiatan dan ketergelinciran, terjerumus dalam kemungkaran-kemungkaran atau bermudah-mudahan padanya. Semua ini juga memudhorotkan Islam dan muslimin.
Seorang ulama yang memiliki bashiroh dan menyandarkan ucapannya kepada dalil-dalil, maka dialah yang akan menuntaskan suatu masalah dengan tepat, sebab sesungguhnya seorang ‘alim itu lebih banyak rasa takutnya kepada Alloh ‘azza wa jalla dibanding dengan selainnya (yang bukan ‘alim) sebagaimana Alloh telah merekomendasi ulama dalam firman-Nya:
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻳَﺨْﺸَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻣِﻦْ ﻋِﺒَﺎﺩِﻩِ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Alloh di antara hamba-hambanya adalah ‘ulama.” (QS. Fathir: 28)
(Seorang ‘alim akan terbimbing oleh) rasa takutnya kepada Alloh ‘azza wa jalla dan kemantapan ilmu yang Alloh karuniakan kepadanya disertai dengan bersandarnya dia kepada Alloh ‘azza wa jalla, juga kematangan akal yang dimilikinya. Hal ini sebagaimana telah direkomendasikan dalam Al Qur’an:
ﻭَﻣَﺎ ﻳَﻌْﻘِﻠُﻬَﺎ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟْﻌَﺎﻟِﻤُﻮﻥَ
“Tidak ada yang memahaminya, kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-‘Ankabut: 43)
Demikian pula pengambilan hukum terhadap permasalahan-permasalahan dan kehati-hatiannya pada masalah-masalah tersebut.
Semua ini dan yang lainnya serta hal-hal yang bersangkutan dengannya akan mengantarkan (seorang ulama) untuk mengucapkan ucapan yang dengannya Alloh akan berikan kemanfaatan dan tidak akan memudhorotkan dengan izin Alloh ‘azza wa jalla, (baik) pada satu pemasalahan atau lebih dan pada perkara-perkara lainnya. Engkau akan mendapatinya berbicara pada permasalahan itu dengan ilmu dan burhan serta bayyinah. Engkau juga akan mendapatinya sebagai seorang yang dipercaya manusia.
Berbeda halnya dengan orang yang bukan ulama, (baik itu) dari kalangan awam, penuntut ilmu atau yang semisalnya. (Jika) dia berbicara pada suatu masalah, selain belum mendapat kepercayaan manusia, juga jarang yang bisa memenuhi sifat-sifat yang telah disebutkan. Kalau toh bisa terpenuhi, paling hanya sebagian saja, tidak semuanya, baik dari sisi waro’, rasa takut kepada Alloh subhanah dan khosyyah. Juga dari sisi penyelesaian masalah berdasarkan dalil-dalilnya dan pijakannya serta pengambilan hukum (isthimbath) yang digali dari berbagai sisi yang ada.
Oleh karena itu, kami wasiatkan kepada diri-diri kami dan siapa (saja) yang mendengarnya agar kita semua berpegang kepada perkara pokok, yaitu mengembalikan perkara kepada ahlinya dengan dalil.
Sedangkan saudara kita ini (yaitu seorang dari Perancis yang memvonis orang lain sebagai mubtadi' tanpa ada seorang ulama pun yang mendahuluinya _pent) ataupun selainnya, apabila mendapati ucapan seorang ulama dalam membid’ahkan seseorang, kemudian ia ambil dan sebarkan sebagai bentuk ta’awun (tolong menolong) dalam kebaikan dan ketakwaan serta sebagai bentuk pembelaan terhadap agama Alloh, terlebih lagi jika ucapan tersebut telah dikuatkan dengan bukti-bukti yang kuat, (maka tentunya hal seperti ini dianjurkan).
Namun, apabila dia tidak mendapati ucapan (vonis bid’ah dari ulama), sementara dia melihat perkara yang dia ingkari, maka janganlah dia menunda-nunda untuk menguatkan ucapannya dengan ucapan ulama dan menyodorkan permasalahannya kepada (ulama tersebut). Sehingga ulama itu melihat dalil-dalil (yang dipaparkannya) pada permasalahan tersebut. Dengan begitu dia akan mengambil beberapa faedah, diantaranya: bisa jadi seorang ‘alim tersebut menunjukinya pada perkara yang ia tidak punya bashiroh padanya dan membimbingnya pada perkara yang ia belum bisa untuk mencapainya serta memahamkannya pada perkara yang belum bisa dia pahami.
Diantara (faedahnya) adalah: apabila dia sudah benar (dalam hukum yang ditetapkannya), maka seorang ‘alim tersebut akan semakin menguatkannya, (sehingga ini masuk) dalam bab:
ﺳَﻨَﺸُﺪُّ ﻋَﻀُﺪَﻙَ ﺑِﺄَﺧِﻴﻚَ
“Kami akan menguatkanmu dengan saudaramu.” QS. Al Qoshosh: 35)
(Dengan langkah ini) hujjahnya pun akan semakin kuat di hadapan manusia dan faedah yang mereka dapatkan pun lebih banyak.
Alhamdulillah, dalam suatu masyarakat tidak akan kosong dari orang yang menegakkan hujjah karena Alloh, sebagaimana yang kami lihat. Hujjah akan senantiasa tegak dan kebaikan akan tetap ada serta agama Alloh ‘azza wa jalla senantiasa tertolong.
Alhamdulillah, kecemburuan terhadap agama memenuhi hati-hati kaum mukminin serta semua kebaikan bisa didapati, (walaupun terkadang kebaikan tersebut) lebih sedikit di sebagian zaman dan terkadang di sebagian lain lebih banyak. Akan tetapi thoifah al manshuroh (golongan yang ditolong Alloh) yang menegakkan hujjah demi Alloh akan senantiasa ada -segala puji hanya untuk Alloh-
Jangan sekali-kali seseorang itu meremehkan kenikmatan yang ia lihat, sebab sesungguhnya -walillahil hamd- meskipun kejelekan itu banyak, tetapi -demi Alloh- kebaikan itu mempunyai tikaman dan hujjah serta kekuatan. Sungguh -demi Robbku-, Alloh pasti akan menolongnya dan (akan menolong) semua yang cemburu terhadap agamanya."
Sumber:
http://www.aloloom.net/show_sound.php?id=5481
Alih bahasa: Abu Zakaria Irham bin Ahmad al-Jawiy -waffaqohulloh-
Dinukil dengan sedikit perubahan dari:
http://al-utsmaniy.blogspot.com/2015/01/bimbingan-syaikhuna-yahya-al-hajuriy.html?m=1
Demikianlah bimbingan ulama' kita berkaitan dengan masalah ini. Semoga Alloh ta'ala memberikan pemahaman kepada diri-diri kita dan kemampuan untuk melakukan apa yang dicintai dan diridhoi-Nya.
Walhamdulillahi Robbil 'alamin.
lembaran-lembaran ilmiah • وما توفيقي إلا بالله • mushlihabusholeh.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar