Ahlan wa sahlan

MENTABDI' ITU TIDAKLAH GAMPANG



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والعاقبة للمتقين ولا عدوان إلا على الظالمين، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم، أما بعد

Pada kesempatan kali ini, kami sajikan sebuah risalah penting, berisi nasehat berharga yang berjudul:

النصح البين بأن التبديع ليس بهين

NASEHAT GAMBLANG, BAHWASANYA MENGHUKUMI SESEORANG SEBAGAI MUBTADI' ITU TIDAKLAH GAMPANG

Ditulis dan diterjemahkan oleh akhunal-fadhil Abu Ja'far Al Harits bin Dasril Al Andalasy -saddadahulloh-.

Selamat menyimak dan semoga bermanfaat…

Pengantar Syaikh Muhammad bin Ali bin Hizam Al Ba'daniy hafidhohulloh

بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه ومن والاه أما بعد

Saya telah menelaah kitab saudara kami yang mulia, penyeru kepada Alloh ‘azza wa jalla: Abu Ja’far Al-Harits bin Dasril Al-Indunisy -hafizhohullohu wa waffaqoh- yang berjudul: AN-NUSHHUL BAYYIN BIANNAT-TABDI' LAISA BI HAYYIN.

Sungguh saya telah membaca sebagian besar dari kitab tersebut atau kebanyakannya dan saya mendapatkannya sebagai sebuah kitab yang bermanfaat. Penulisnya telah membuat kumpulan materi yang baik. Semoga Alloh memberinya taufik dan menjadikan penulis serta kitabnya bermanfaat bagi Islam dan muslimin.

Ditulis oleh: Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Ali bin Hizam Al-Fadhly Al-Ba’dany
Pada hari Rabu, bertepatan dengan tanggal 19 Rajab 1432.

Pengantar Penulis

إن الحمد لله، نحمده، ونستعينه، ونستغفره، ونعوذ به من شرور أنفسنا، ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأَشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أما بعد

Alloh ta'ala berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“Tidaklah ada suatu ucapan pun yang terucapkan, melainkan di dekatnya terdapat malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qof: 18)

Imam Bukhory dan Muslim rohimahumalloh meriwayatkan -dalam shohihnya- dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu, bahwasanya dia mendengar Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengatakan:

إن العبد ليتكلم بالكلمة ما يتبين فيها يزل بها في النار أبعد مما بين المشرق -وفي رواية مسلم- ما بين المشرق والمغرب

“Sesungguhnya seorang hamba berbicara tentang sesuatu perkataan yang dia tidak memiliki kejelasan padanya, maka dia akan tergelincir di neraka lebih jauh daripada apa yang diantara timur -dalam riwayat Muslim- apa yang di antara timur dan barat.”

Di dalam Sunan Abu Dawud dari 'Abdulloh bin 'Umar rodhiyallohu ‘anhu, bahwasanya Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam mengatakan:

وَمَنْ قَالَ فِى مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ أَسْكَنَهُ اللَّهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ

“Barangsiapa yang berkata tentang seorang mukmin yang tidak ada padanya, maka Alloh akan menempatkannya di keringat penduduk neraka, sampai dia keluar dari apa yang dikatakannya.” (Syaikh Al-Albany menshohihkan hadits ini dan juga terdapat dalam Ash-Shohihul Musnad karya Imam Al-Wadi'i)

Maka dalam rangka melindungi diri dari ancaman sangat berbahaya ini yang bisa menimpa orang yang terjatuh dalam perbuatan ini, maka saya arahkan risalah ini bagi diri saya terlebih dahulu, kemudian yang kedua bagi saudara-saudara fillah, terkhusus yang berada di tanah air. Hal ini dikarenakan, saya melihat sebagian orang tergesa-gesa dalam menghizbikan saudara-saudara mereka, sementara saya mengetahui pada sebagian mereka tidak ada pengetahuan sedikitpun tentang hal tersebut.

Saya berterima kasih kepada Syaikhuna Al-Fadhil Abu 'Amr 'Abdul Karim Al-Hajury dan Syaikh Muhammad bin ‘Ali bin Hizam -hafizhohumalloh-, atas kerendahan hati mereka untuk memeriksa risalah ini. Saya memohon kepada Alloh untuk membantu diri saya dalam menyelesaikan tulisan ini, serta memberikan manfaat bagi saya dan kalian dan menjadikan amal ini ikhlas demi wajah-Nya yang mulia.

(Bab 1) BID'AH DAN MUBTADI'

Sebelum mulai kepada pembahasan yang diinginkan, kita mesti mengetahui makna bid'ah, karena hal tersebut adalah poros masalah. Menghukumi seseorang dengan kebid'ahan adalah cabang darinya. Maksudnya adalah bahwa bid'ah itu adalah pokoknya dan menghukumi seseorang sebagai seorang mubtadi' adalah cabangnya. Tidak mungkin ada cabang sebelum ada pokok. Maka menghukumi seseorang sebagai seorang mubtadi' mesti setelah penetapan bahwa perbuatannya itu tergolong ke dalam bid'ah. Tidaklah seseorang dihukumi dengan bid'ah (dikatakan sebagai mubtadi') sampai yakin kalau betul-betul dia telah terjatuh ke dalam bid'ah tersebut, bukan sekedar persangkaan saja. Disangka bid'ah, padahal bukan.

Imam Asy-Syathibi rohimahulloh mengatakan: "Bid'ah adalah ibarat sebuah thoriqoh (jalan) dalam agama yang dibuat-buat menyerupai syari'at. Dimaksudkan dengan berjalan di atasnya untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Alloh subhanahu." [Al'tishom: 1/21]

Kemudian beliau rohimahulloh menerangkan: "Thoriqoh, jalan, sabil dan sunan (metode) semuanya bermakna sama yaitu sesuatu yang diperintahkan untuk berjalan di atasnya. Hanya saja aku mengaitkannya dengan agama, karena padanyalah thoriqoh tersebut dibuat-buat, serta kepadanyalah pelakunya menyandarkan thoriqoh tersebut. Demikian juga (di sisi lain), apabila thoriqoh tersebut dibuat-buat secara khusus dalam masalah dunia, maka dia tidak dinamakan bid'ah.

Menyerupai syari'at maksudnya, bahwasanya thoriqoh tersebut menyerupai thoriqoh yang syar'i, namun pada hakikatnya tidak demikian.  Malahan ia melawan thoriqoh yang syar'i tersebut dari berbagai sisi.

Seandainya thoriqoh tersebut tidak menyerupai perkara-perkara yang disyari'atkan, maka ia bukanlah bid'ah, dikarenakan (dalam kondisi ini) ia tergolong ke dalam amal-amal kebiasaan. Pelaku bid'ah membuat-buatnya hanyalah untuk menyerupai sunnah, sehingga bisa menimbulkan kesamaran bagi yang lain, atau thoriqoh tersebut sunnah menjadi samar dengan keberadaannya. Sebab seseorang tidak akan mengikuti sesuatu yang tidak menyerupai perkara yang disyari'atkan, karena dalam kondisi itu perkara bid'ah tersebut tidak akan mendatangkan manfaat dan tidak akan menolak bahaya, serta orang lain tidak akan menyambutnya.

Dimaksudkan dengan berjalan di atasnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Alloh ta'ala merupakan makna bid'ah secara sempurna, karena itulah tujuan dari "pensyari'atannya."

Hal tersebut (kita simpulkan -pen) karena pada asalnya, masuknya pelaku ke dalam perkara bid'ah itu mendorong dan menganjurkan adanya pemutusan hubungan dengan ibadah yang disyari’atkan, karena Alloh ta'ala berfirman:

وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون

“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengesakan peribadahan kepadaku.” (QS. Adz Dzariyat)

Jadi seakan-akan seorang mubtadi' (pelaku bid’ah) tersebut berpandangan bahwa yang diinginkan dari ayat itu adalah makna ini (yaitu membuat ibadah dengan metodenya sendiri -pen). Tidak jelas baginya bahwa apa-apa yang ditetapkan pemilik syari'at berupa aturan-aturan dan batasan-batasan itu telah cukup. Dia memandang -dari diri sendiri- ketika perkara dalam (ibadah) disebutkan secara umum, mengharuskan adanya aturan-aturan yang baku dan kondisi-kondisi yang mengikat. Bersamaan dengan itu terdapat perkara-perkara yang merasuk ke dalam jiwanya berupa cinta ketenaran atau tidak memperhitungkan kemungkinan. Maka masuklah unsur kebid'ahan ke dalam aturan baku yang dibuatnya ini." [Al'tishom 1/21-23]

Penjelasan inilah yang ditunjukkan oleh hadits 'Aisyah rodhiyallohu 'anha dalam Ash Shohihain, bahwasanya beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

“Barangsiapa yang mengada-adakan (suatu amalan atau keyakinan) dalam perintah Kami ini, yang bukan bagian darinya, maka perkara itu tertolak.”

Dalam riwayat Muslim:

من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada padanya perintah kami, maka perkara itu tertolak.”

Perkataan beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam, "… dalam perintah kami…”, yaitu bahwa Rosululloh mengaitkan larangan dibuat-buatnya perkara baru dengan kata “agama” yang dahulu Nabi dan para shohabat beliau ridhwanullohu 'alaihim berada di atasnya. Karena itulah, maka apa-apa yang tidak masuk ke dalam agama, tidak bisa dinamakan bid'ah.

Perkataan beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam, "…tidak ada padanya perintah kami…", yaitu masuk ke dalamnya maksiat-maksiat dan adat kebiasaan yang tidak tergolong ke dalam makna ibadah.

Dari kedua hadits ini dapat diambil faedah, bahwasanya bid'ah itu bisa terjadi dalam bentuk perbuatan-perbuatan maksiat atau adat kebiasaan dengan syarat pelakunya berbuat hal itu dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Alloh. Hal itu karena pada keadaan seperti ini, berarti (maksiat atau adat tersebut) telah masuk ke dalam ucapan beliau, “perintah kami." Kalau tidak ada unsur pendekatan kepada Alloh, maka (semata-mata maksiat atau adat kebiasaan) tidak bisa dinamakan sebagai bid'ah.

Itulah sebabnya mengapa Anda mendapatkan para ulama menghukumi sebagian pelaku maksiat atau kabair (dosa-dosa besar) dengan kebid'ahan dan mereka tidak menvonis sebagian yang lain dengan hukum yang sama walaupun bentuk perbuatannya sama.

Jenis inilah (yaitu bid’ah yang pada asalnya adalah perbuatan maksiat atau adat kebiasaan), yang dinamakan Imam Asy-Syatibhiy rohimahulloh sebagai al-bid’ah al-haqiqiyyah.

Beliau berkata: “Sesungguhnya al-bid’ah al-haqiqiyyah itu adalah perkara yang tidak ada dalil syar’inya baik dari kitab, sunnah, ijma’ atau sisi pendalilan yang diakui oleh para ulama, baik secara umum maupun secara terperinci. Oleh karena itu, ia dinamakan bid’ah -sebagaimana telah lewat penyebutannya-, karena ia adalah suatu perkara yang diada-adakan tanpa adanya contoh yang terdahulu.

Meskipun seorang mubtadi’ tidak mau dikatakan bahwa amalan tersebut telah keluar dari syari’at, karena pelaku bid’ah menganggap bahwa perbuatannya tersebut masuk ke dalam konsekuensi yang terkandung di dalam dalil. Tapi pengakuan tersebut tidaklah benar, baik dilihat dari rincian perbuatan itu sendiri maupun dari yang tampak secara lahiriah. Adapun dari sisi rincian perbuatan tersebut, maka penilaian suatu perbuatan itu dari segi tujuan dilakukannya perbuatan tersebut. Adapun secara lahiriah, sebenarnya dalil-dalil yang digunakan hanyalah sekedar syubhat dan bukan dalil. Itu kalau memang benar si mubtadi’ itu menggunakan dalil, kalau tidak maka perkara ini sudahlah jelas.” [Al'tishom 1/266]

Adapun apabila perkara yang diada-adakan itu memiliki asal dalam syari'at, -yaitu dari sisi bahwasanya perkara itu ada secara asalnya, akan tetapi diada-adakan dari sisi sifatnya-, maka hal ini yang dinamakan dengan al-bid’ah al-idhofiyyah.

Imam Asy-Syathiby rohimahulloh berkata di dalam sumber yang sama: “Adapun al-bid’ah al-idhofiyyah adalah perkara yang memiliki dua sisi. Salah satu sisinya berkaitan dengan dalil, maka dari sisi ini dia tidak dinamakan bid’ah. Sementara dari sisi yang lain, tidak ada keterkaitan dengan dalil sebagaimana kondisi al-bid’ah al-haqiqiyyah. Maka ketika amalan tersebut memiliki dua sisi yang tidak bisa saling terlepas satu sama lainnya, maka kami menamakannya al-bid’ah al-idhofiyyah. Maknanya, bila ditinjau dari salah satu sisi, maka ia adalah sunnah karena dia bersandar kepada dalil. Namun bila ditinjau dari sisi yang kedua, maka ia adalah bid’ah, karena hanya bersandar kepada syubhat bukan kepada dalil atau tidak bersandar kepada apapun.

Perbedaan antara kedua jenis bid’ah ini adalah dari sisi makna yang (al-bid’ah al-idhofiyyah) jika ditinjau dari sisi asal perkaranya, maka ada dalil yang mendukungnya. Namun jika ditinjau dari sisi pelaksanaan, kondisi atau perinciannya, maka tidak ada dalil yang mendukungnya. Padahal hal-hal seperti ini membutuhkan dalil karena kebanyakannya terjadi di dalam masalah ibadah, bukan di dalam masalah adat kebiasaan murni.” [Al'tishom 1/266]

Dari penjelasan ini kita bisa mengetahui bahwasanya dengan semata-mata maksiat atau kaba'ir (dosa-dosa besar) bahkan sekedar adat kebiasaan, maka seseorang itu tidak bisa dibid'ahkan dengannya, terlebih lagi dengan semata-mata perselisihan pribadi atau lainnya.

(Bab 2) APAKAH BOLEH BAGI KITA UNTUK MENGHUKUMI SESEORANG DENGAN BID'AH?

Masalah ini ada perincian sebagai berikut:

1. Bagian yang boleh bagi setiap orang untuk berkomentar. Hal ini jika penyelisihan yang dijadikan dasar untuk menghukumi pelakunya sebagai mubtadi' adalah penyelisihan yang sangat jelas yang semua orang -yaitu orang yang tidak lalai dalam belajar- mengetahui bahwa perbuatan tersebut mengantarkan seseorang keluar dari lingkaran sunnah. Karena itu dikatakan: Jika bid'ah atau penyelisihan itu sangat jelas, maka bagi setiap orang yang berilmu tentang perkara itu boleh untuk men-jarh (memberikan kritikan).

2. Apabila bentuk penyelisihannya samar, yang banyak dari manusia tidak mengetahui bahwa penyelisihan ini bisa mengantarkan seseorang untuk layak divonis mubtadi', maka yang mengetahui bagian ini adalah para ulama' jarh wat ta’dil atau orang-orang yang memiliki keahlian untuk melakukan ijtihad dalam bidang ini.

Syaikh kami Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Ali bin Hizam hafizhohulloh (di sela-sela pelajaran Fathul ‘Allam pada hari Rabu, 30 Jumadits Tsani 1432) mengingatkan: "Pengaitan dengan ibarat "seseorang yang memiliki keahlian ijtihad dalam bidang ini" adalah perkara yang semestinya dan tidak dikaitkan dengan kata "seseorang yang mapan" atau "tidak mapan." Standarnya adalah keahlian untuk melakukan ijtihad sebagaimana para ulama menjadikan kata atau istilah ini sebagai pengait dalam bidang ushul fiqh pada pembahasan mufti (orang yang berhak berfatwa). Mereka menjelaskan bahwa syarat seorang mufti adalah dia mesti seorang ahli ijtihad. Kemudian mereka menjelaskan standar-standar ijtihad yang benar sebagaimana dimaklumi di dalam kitab-kitab ushul fiqh. Maka disyaratkan bagi orang-orang yang berbicara, baik itu fatwa dalam masalah talak, jual beli, haji atau selainnya atau pada masalah dakwah, jarh wa ta'dil serta menghukumi seseorang sebagai mubtadi' atau kafir, yaitu perkara-perkara yang rumit serta rentan, yang butuh kepada ijtihad, maka disyaratkan pembicaranya adalah seorang ahli ijtihad (dalam masalah itu -pen), Baik orang tersebut dikenal sebagai ahli ijtihad (di kalangan ahlinya) di tengah-tengah kaum muslimin atau dikatakan sebagai ahli ijtihad dengan rekomendasi (yang jelas) dari ulama lain, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab mustholahul hadits.

Mereka mengesahkan tanpa adanya rekomendasi tersebut seperti halnya Imam Malik "bintangnya" hadits-hadits Nabi. Siapa yang masyhur (di kalangan ahli ilmu) sebagai seorang ahli ijtihad, maka hal itu cukup baginya tanpa ada rekomendasi (langsung). Siapa yang tidak masyhur (di kalangan ahlinya), maka butuh kepada rekomendasi dari ulama lain, bahwasanya dia adalah seorang ahli ijtihad, fatwa dan pemberian rekomendasi. Maka pengaitnya bukanlah dengan mapan atau tidak, namun dengan siapa saja yang memiliki keahlian untuk berijtihad."

Jadi, tidak setiap orang boleh ikut campur di dalamnya, kecuali jika mereka hanya sekedar menukil dari para ahlinya, maka hal itu tidak apa-apa.

Berikut perkataan sebagian ulama dalam masalah itu:

- Al-Allamah An-Najmi rohimahulloh ditanya: "Apakah boleh bagi penuntut ilmu yang mapan untuk menvonis bid'ah atau kafir ataukah masalah ini khusus bagi ulama'?" Beliau rohimahulloh menjawab: "Tidak boleh bagi penuntut ilmu yang masih pemula untuk menvonis bid'ah atau mengkafirkan, kecuali setelah menjadi ahli untuk itu. Wajib baginya untuk menyerahkannya kepada ulama', karena Alloh berfirman:

وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُم

"Kalau mereka menyerahkannya kepada Rosul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil Amri)" (QS An-Nisa’ 83) [Al-Fatawa Al-Jaliyyah 2/32]

- Syaikh kami Yahya Al-Hajuri hafizhohulloh ditanya, sebagaimana dalam kaset pertanyaan dari daerah Laudar dan Mudiyah pada malam senin 11 Robiul Awwal 1432, pada pertanyaan keenam: "Apabila seorang penuntut ilmu melihat pengekor hawa nafsu di daerahnya yang manusia tertipu dengannya, apakah boleh baginya untuk men-tahdzir (memperingatkan manusia dari) orang itu ataukah ini khusus bagi ulama'?" Beliau hafizhohulloh menjawab: “Apabila dia mengetahui bahwa orang itu betul-betul pengekor hawa nafsu dan manusia  betul-betul tertipu dengannya, selama dia mengetahui keadaannya, maka boleh baginya untuk mengatakan: “Ini adalah pengekor hawa nafsu.” Ini apabila dia memiliki kemampuan untuk membedakan antara pengekor hawa nafsu dan yang bukan. Sebagian tholibul 'ilmi ada yang memiliki kemampuan, sehingga mengetahui bahwa itu adalah pengekor hawa nafsu. Sekarang wahai ikhwan, para tholibul 'ilmi mengetahui orang-orang sufi atau tidak? Para peramal… dan demikian pula mengetahui orang yang berpartai-partai… mengetahui… (dst.) orang yang sudah dikenal dengan yakin, bahwasanya orang ini keadaannya seperti ini dan dia (penuntut ilmu) mentahdzirnya, maka hal itu tidak diingkari. Karena ini adalah usaha serta ijtihadnya dan inilah yang mendekatkannya kepada Alloh. Adapun kalau memvonis sekedar perkiraan-perkiraan, tidak punya kemampuan, tidak dapat meletakkan perkara pada tempatnya atau tidak mengetahui perkara ini, tidak paham, bisa jadi dia hanya menyangka bahwa… yaitu orang itu berhak untuk ditahdzir, sedangkan sebenarnya orang itu tidak berhak untuk ditahdzir dan seterusnya… Yang seperti ini wajib baginya untuk menuntut ilmu dan bertanya kepada yang tahu (ulama dan ahli ijtihad), sehingga dia tidak menambah robekan semakin meluas (tambah runyam) dan demikian pula, mudharatnya lebih banyak daripada manfaatnya. Alangkah bagusnya ucapan syair:

ومن يزيل منكرا بأنكرَ * كغاسلٍ حيضاً ببول أغبرَ

"Siapa yang mengingkari kemungkaran dengan yang lebih mungkar, maka seperti orang yang mencuci darah haid dengan air kencing yang keruh."

Alloh ta'ala berfirman:

وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُون

"Perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia dan tiada yang memahaminya, kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS. Al-Ankabut 43)

Maka haruslah bagi saudara kami sekalian -semoga Alloh menjaga Anda sekalian- untuk berusaha keras dan bersungguh-sungguh dalam memahami agama Alloh. Sesungguhnya dengan inilah Alloh memuji para ulama, dikarenakan pemahaman mereka terhadap suatu perkara dan bisa meletakkannya pada tempatnya. Semoga Alloh memberi taufiq kepada kita semua." (selesai)

(Bab 3) KONDISI SEPERTI APA YANG DI SITU DIBOLEHKAN BAGI SETIAP ORANG UNTUK BERKOMENTAR?

Telah lalu sebagian penjelasan tentang hal ini, yaitu apabila penyelisihan itu sangat jelas. Termasuk yang paling bagus tentang hal itu adalah perkataan Syaikhul Islam rohimahulloh  sebagaimana dalam Majmu' Fatawa beliau (24/172): “Barangsiapa yang menyelisihi Al-Kitab yang jelas dan sunnah yang telah dikenal merata atau perkara yang telah disepakati para salaf, yaitu dengan penyelisihan yang tidak ada udzur padanya, maka dia diperlakukan sebagaimana ahlul bid'ah itu diperlakukan." (selesai)

Yang demikian itu, karena jelasnya hujjah pada masalah itu bagi setiap orang yang tidak lalai dalam agamanya dan manusia tidaklah diadzab, kecuali setelah sampainya hujjah. Alloh berfirman:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

“Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rosul.” (QS. Al-Isro’: 15)

Hujjah itu ditegakkan untuk menghilangkan kemungkinan ketidak-tahuan (bodoh) atau ketidak-sengajaan dan yang lainnya dari penghalang-penghalang yang telah diketahui dan diperhitungkan.

Akan tetapi saya ingin memberikan peringatan tentang masalah jahl (kebodohan) sebab sebagian orang tidak mau menolong kebenaran bahkan membela kebatilan dengan berlindung di balik tabir 'kebodohan'. Sedangkan yang lain bertikai dengan saudaranya demi membela orang semodel ini dengan alasan, "Dia itu masih bodoh, perlu dinasehati.." dan seterusnya.

Udzur karena bodoh itu diterima apabila muncul bukan karena berpaling atau meremehkan dari mencari kebenaran, sementara di tempatnya terdapat orang yang bisa memberikan penjelasan kepadanya. Hal itu karena pada dua keadaan ini (berpaling atau meremehkan), orang itu tidak mendapatkan udzur karena bodoh.

Adapun yang pertama (yaitu berpaling), maka itu jenis dari kebodohan kaum Nuh 'alaihis salam. Alloh ta’ala berfirman:

وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آَذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا

“Sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada keimanan) agar Engkau mengampuni mereka. Mereka memasukkan jari-jemari mereka ke dalam telinganya, menutupkan bajunya (ke mukanya) dan mereka tetap (mengingkari) serta menyombongkan diri dengan sangat.” (QS. Nuh: 7)

Sementara jenis yang kedua adalah sebagaimana yang diriwayatkan Al-Bazzar rohimahulloh dalam kitab Kasyful Astar (4/207), beliau berkata: “Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdurrohim (dia berkata): “Telah mengabarkan kepada kami Affan (dia berkata): “Telah mengabarkan kepada kami Abdul Wahid dari 'Ashim bin Kulaib dari ayahnya dari pamannya rodhiyallohu ‘anhu (dia berkata):

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم جَالِسًا فِي الْمَجْلِسِ، فَشَخَصَ بَصَرُهُ إِلَى رَجُلٍ فِي الْمَسْجِدِ يَمْشِي، فَقَالَ: أَبَا فُلانٍ ، قَالَ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللهِ، وَلاَ يُنَازِعُهُ الْكَلامَ إِلاَّ قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ ، قَالَ لَهُ: أَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُولُ اللهِ قَالَ: لاَ، قَالَ: أَتَقْرَأُ التَّوْرَاةَ ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: وَالإِنْجِيلَ ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: وَالْقُرْآنَ ؟ قَالَ: وَالَّذِي نفسي بيَدِهِ لَوْ نَشَاءُ لَقَرَأْناهُ...الحديث

"Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam duduk di majelis kemudian pandangannya menatap kepada seorang lelaki di masjid yang sedang berjalan. Kemudian Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata: “Wahai Abu Fulan.” Lelaki itu menjawab: “Aku penuhi panggilanmu, wahai Rosululloh.” Tidaklah dia menjawab ucapan beliau, kecuali dia berkata, “Wahai Rosululloh.” Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya: “Apakah engkau bersaksi bahwa aku Rosululloh?” Dia menjawab: “Tidak.” Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata: “Apakah engkau membaca Taurat?" Dia menjawab: “Ya.” Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata:  “Injil?” Dia menjawab: “Ya.” Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata: “Al-Quran?” Dia menjawab: “Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, kalau kami mau tentu kami membacanya.” (al-hadits)

Hadits ini dihasankan Imam Al-Wadi'i rohimahulloh dalam kitab Ash-Shohihul Musnad.

Syaikhul Islam rohimahulloh mengatakan: "Diikutkan ke dalam celaan adalah orang yang sudah jelas baginya kebenaran, tetapi dia meninggalkannya atau orang yang kurang dalam mencari kebenaran, sehingga tidak jelas baginya atau orang yang berpaling tidak mau berusaha mengetahui kebenaran, karena hawa nafsunya atau karena malas atau yang lainnya." [Iqtidho' Sirotil Mustaqim, hal. 264]

Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan: "Harus ada perincian dalam perkara ini sehingga hilang dengannya suatu kerancuan, yaitu perbedaan antara orang yang taqlid (mengekor saja tanpa mencari dalil), namun dia mampu untuk mencari ilmu dan kebenaran, akan tetapi dia berpaling, dengan orang yang taqlid, namun dia tidak mampu untuk mencarinya sama sekali. Kedua jenis ini terjadi dalam kenyataan. Orang yang mampu dan berpaling adalah orang yang lalai yang meninggalkan kewajibannya, maka orang seperti ini  tidak ada udzur baginya di sisi Alloh.

Adapun orang yang tidak sanggup bertanya atau mencari ilmu, tidak mampu untuk mencari ilmu sama sekali, maka mereka ini ada dua jenis juga:

Pertama: Orang yang ingin mendapat petunjuk, mengutamakan perkara tersebut dan menyukainya, namun dia tidak mampu (mendapatkannya) dan tidak pula mampu untuk mencarinya, karena tidak ada orang yang membimbingnya. Maka orang seperti ini hukumnya sama dengan orang yang ada di masa fatroh (selang pengutusan antara para rosul) dan orang yang tidak sampai dakwah padanya.

Kedua: orang yang berpaling, tidak ada keinginan sama sekali dan tidak memacu dirinya untuk mendapatkan sesuatu selain dengan apa yang ada pada dirinya.

Maka yang pertama itu mengatakan: "Wahai Robbku, seandainya aku mengetahui milik-Mu ada agama yang lebih baik dari agama yang aku anut ini,  tentu aku beragama dengan agama-Mu itu dan niscaya aku meninggalkan agama yang aku anut. Akan tetapi aku tidak tahu, kecuali apa yang kuanut dan aku tidak mampu untuk mencari yang lain dan itu adalah puncak dari usahaku serta akhir dari pengetahuanku.”

Sementara jenis yang kedua ridho dengan apa yang dia anut. Dia tidak mau mendahulukan perkara yang lain dari urusannya yang telah ada dan jiwanya tidaklah mencari perkara yang lain. tidak ada perbedaan baginya antara keadaan lemahnya dan mampunya (mencari kebenaran).

Kedua jenis ini sama-sama lemah, dan ini (jenis kedua) tidak bisa diikutkan dengan yang jenis pertama, karena antara keduanya ada perbedaan. Jenis yang pertama seperti orang yang mencari agama pada masa fatroh dan tidak mendapatkannya, maka dia berpaling setelah mencurahkan semua usaha dalam mencarinya dikarenakan lemah dan bodoh. Sementara jenis yang kedua seperti orang yang tidak mencarinya,  bahkan mati di atas kesyirikan meskipun kalau dia mencarinya dia tidak akan mampu. Maka berbeda antara lemahnya orang yang berusaha mencari dan lemahnya orang yang (dari awal sudah) berpaling, maka telitilah masalah ini." [Thoriqul Hijrotain 609-610]

Termasuk dari bentuk penyelisihan yang paling terlihat jelas yang bisa menggolongkannya dengan bid’ah adalah penisbatan seseorang kepada salah satu dari kelompok (sesat).

Syaikh Muqbil rohimahulloh ditanya: “Apakah boleh menvoniskan lafazh mubtadi' kepada seseorang, karena dia menisbatkan diri kepada salah satu dari jama'ah hizbiyyin?” Beliau rohimahulloh menjawab: "Aku tidak mengetahui larangan untuk itu, kecuali jama'ah al-haq, maka tidak boleh (dinisbatkan kepada mubtadi'). Apabila dia orang bodoh (sehingga menisbahkan diri kepada hizbiyyun), maka ini urusan antara dia dan Alloh." [Fadho'ih wa Nasho'ih, hal. 118]

(Bab 4) SYARAT-SYARAT PEN-JARH (PENGKRITIK) YANG PERKATAANNYA DIPERHITUNGKAN

Al-Hafidh Ibnu Hajar rohimahulloh menukilkan perkataan Ibnu Daqiqil ‘Ied rohimahulloh: "Kehormatan manusia adalah jurang dari jurang-jurang neraka yang berada di tepinya dua kelompok, para hakim dan muhaddits (ahli hadits)." [Lisaanul Miizaan: 1/16]

Timbangan di dalam menghukumi seseorang dengan bid’ah itu menuntut adanya sifat-sifat yang mulia dan karunia yang tinggi. Maka orang yang berhak berbicara dalam perkara ini adalah orang-orang yang  terpenuhi padanya syarat-syarat yang ketat sekali dan memiliki keahlian dengan tuntutannya dalam jabatan yang mulia ini.

Al-Imam Adz-Dzahabiy rohimahulloh berkata: ”Mengomentari para perowi itu membutuhkan waro’ yang sempurna, selamat dari hawa nafsu dan kecondongan kepadanya, serta memiliki pengetahuan yang sempurna dalam ilmu al-hadits, ‘ilal-ilalnya (kecacatan riwayat) dan pengetahuan tentang keadaan para perowinya (baik dari sisi daya hafal maupun kadar keagamaannya -pen).” [Al-Muqizhoh fii ‘ilmi Mustholahil Hadits, hal. 19]

Para ulama jarh wa ta’dil telah menyebutkan syarat-syarat tersebut di dalam kitab-kitab mereka dan syarat-syarat itu adalah:

- Sifat waro’, taqwa, dan kejujuran.

Al-Imam Adz-Dzahabiy rohimahulloh mengatakan: “Kewajiban bagi muhaddits (ahlul hadits) untuk berhati-berhati dalam perkara yang dia tunaikan dan agar bertanya kepada ulama yang penuh waro’ untuk membantunya dalam menjelaskan riwayat-riwayatnya. Tidak ada jalan untuk seorang yang arif yang memberikan tazkiyyah (pujian)  dan memberikan jarh (kritikan), kecuali dengan terus-menerus menuntut ilmu dan penelitian dalam perkara ini serta banyaknya mudzakaroh (saling mengingatkan), banyak bertanggang untuk mempelajarinya, serta hati-hatinya terjaga dari kelalaian (ketika menghukumi) yang disertai pemahaman dan dibarengi dengan taqwa dan agama yang kuat, sikap objektif, selalu mendatangi majelis para ulama, teliti dalam memilih mana yang lebih pantas serta kekuatan ilmu. Jika engkau tidak bisa memenuhinya:

فدع عنك الكتابة لست منها  *  ولو سودت وجهك بالمداد

"Maka tinggalkan untuk menulis karena engkau bukan ahlinya, walaupun engkau hitami wajahmu dangan tinta."

Alloh ta’ala berfirman:

فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kalian kepada orang yang mengetahui apabila kalian tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Jika engkau melihat pada dari dirimu -secara objektif dengan taufiq Alloh, tidak ge'er dan kagum dengan diri sendiri- akan adanya pemahaman yang bagus, kejujuran, agama dan sifat waro’, maka silahkan berbicara. Jika tidak, maka janganlah menyusahkan dirimu. Jika kamu terkalahkan oleh hawa nafsu, fanatik kepada suatu pendapat atau madzhab, maka demi Alloh janganlah engkau melelahkan dirimu. Jika engkau mengetahui bahwa engkau seorang yang kacau, serampangan dan menelantarkan batasan-batasan Alloh, maka biarkanlah kami beristirahat darimu. Sebentar lagi akan tersingkap kebatilan dan tertimpa kedustaan serta makar yang jelek tidak akan menimpa, kecuali atas orang-orang yang merencanakannya.” [Tadzkiratul Huffadh: 1/10, biografi Abu Bakr Ash-Shiddiq rodhiyallohu ‘anhu]

- Menjauhi hawa nafsu, fanatik, dan tujuan jelek

Ibnu Hajar rohimahulloh mengatakan: "Hendaknya orang-orang yang berbicara dalam perkara ini berhati-hati dari bermudah-mudahan dalam jarh dan ta’dil, karena jika dia memuji tanpa bukti, maka itu adalah seperti menetapkan hukum yang tidak tetap, maka dikhawatirkan akan masuk dalam golongan orang yang meriwayatkan hadits yang diduga bahwa itu adalah dusta. Demikian juga jika dia men-jarh tanpa berhati-hati, maka dia telah maju untuk mencela seorang muslim yang bersih dari hal itu dan mensifatinya dengan sifat yang jelek, maka kejelekan tersebut akan jadi tanggung jawabnya selamanya.” [Nuzhatun Nazhor fii Tawdhiih Nukhbatil Fikar fii Mushtolah Ahlil Atsar, hal. 178]

Beliau rohimahulloh berkata dalam Lisanul Mizan (1/16): "Membicarakan keadaan perowi membutuhkan sifat waro’ yang sempurna dan selamat dari hawa nafsu." (selesai penukilan)

- Keahlian dalam perkara hukum-hukum syar’i dan pengetahuan tentang sebab-sebab jarh sesuai dengan penerapan kaidah-kaidah jarh dan ta’dil

Karena tidak semua orang yang bersifat waro’ dan bertaqwa boleh untuk berbicara tentang para perowi, baik berupa jarh maupun ta’dil. Bahkan wajib disamping kuatnya kadar keagamaan, waro’ dan ketaqwaannya, harus disertai sikap waspada, mengecek kebenaran berita, tidak mencampurkan antara hukum-hukum dan tidak menyama-ratakan perkara-perkara satu dengan lainnya.

Imam Al-Dzahabiy rohimahulloh mengatakan: ”Orang yang maju untuk mengkritik, maka harus kuat (memiliki keahlian)." [Miizanul I’tidal: 8/4]

Beliau rohimahulloh juga mengatakan: “Berbicara tentang (jarh wa ta’dil) orang-orang tidak diperbolehkan, kecuali bagi orang yang penuh pengetahuan dan waro’.” [Miizanul I’tidal: 3/46]

Ibnu Hajar rohimahulloh mengatakan: ”Tidak semua jarh (kritikan atau tikaman) orang yang mengeluarkan jarh itu diterima. Semestinya tidak diterima jarh dan ta’dil, kecuali dari orang yang adil, waspada dan tidak diterima dari orang-orang yang berlebihan." [Nuzhatun Nadhor, hal. 177]

Al-Qori Al-Harawiy rohimahulloh menjelaskan perkataan Ibnu Hajar di atas dengan mengatakan: ”Yaitu dari orang yang cepat menghadirkan dalil dan memiliki kewaspadaan yang membawanya untuk berhati-hati." [Syarh Nukhbatul Fikar, hal. 734]

Akan datang tambahan keterangan poin ini dalam penjelasan berikutnya insyaalloh.

(Bab 5) BAGAIMANA DENGAN ORANG YANG TIDAK ADA PADANYA SALAH SATU DARI SYARAT-SYARAT INI?

Abul Hasanat Al-Laknawiy rohimahulloh mengatakan: ”Berkata Badr bin Zuma’ah: "Orang yang tidak mengetahui sebab-sebab tersebut, maka tidak diterima darinya baik jarh maupun ta’dil, tidak secara mutlak dan tidak pula secara taqyid (bersyarat).”

Berkata Al-Hafidh Ibnu Hajar di dalam syarah Nukhbahnya: ”Jika jarh datang dari orang yang tidak tahu tentang sebab-sebabnya maka perkataannya tidak dianggap.” [Ar-Ra'fu wat Takmiil, hal. 68]

As-Sakhawiy rohimahulloh: ”Sebagian ulama mutaakhiriin (belakangan) mengkaitkan dalam penerimaan jarh mufassar (dengan rincian) dari orang yang dikenal kredibilitasnya, (hal itu) jika tidak ada indikasi nyata bahwa jarh tersebut  disebabkan fanatik madzhab atau perdebatan masalah dunia." [Fathul Mughits: 1/308]

Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasyqiy rohimahulloh: ”Membicarakan para perowi dan kritikan terhadap mereka menuntut beberapa perkara, (juga) dalam memberikan ta’dil (pujian) kepada mereka dan membantah mereka. Diantaranya adalah seorang yang berbicara harus mengetahui tingkatan-tingkatan perowi dan keadaan mereka dalam penyimpangan dan kelurusan, serta tingkatan-tingkatan mereka dalam perkataan dan perbuatan. Pembicara haruslah termasuk dari ahli waro’, penuh ketaqwaan, jauh dari fanatik dan hawa nafsu, selamat dari sikap remeh, bebas dari kepentingan pribadi, bersama adanya keadilan pada dirinya, kekuatan ilmu dan pengetahuan tentang sebab-sebab yang dengannya seseorang berhak di-jarh. Jika tidak, maka perkataannya terhadap orang yang dibicarakan itu tidak diterima. Bahkan pembicara tersebut termasuk orang menggunjing dan berbicara dengan perkara yang haram." [Ar-Raddul Waafir, bab 14]

(Bab 6) MENGETAHUI SEBAB VONIS BID'AH KEPADA SESEORANG DAN PENYESUAIANNYA DENGAN HAKIKAT PERMASALAHAN ADALAH PERKARA YANG DIHARUSKAN

Dasar dalam permasalahan ini adalah  hadits yang diriwayatkan oleh Bukhory-Muslim, dari Ibnu 'Abbas rodiyallohu ‘anhu bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَوْ يُعْطَى النَّاسُ بِدَعْوَاهُمْ لاَدَّعَى نَاسٌ دِمَاءَ رِجَالٍ وَأَمْوَالَهُمْ

“Seandainya manusia diberi dengan sekedar pengakuan-pengakuan mereka, tentulah setiap orang akan mengaku-aku terhadap (perkara) darah suatu kaum dan harta-harta mereka."

Penyelisihan yang samar (sebagaimana disebutkan dalam perincian bab 2 yang telah lalu), adalah perkara yang 'sempit'. Tidak boleh setiap orang untuk berbicara, kecuali setelah memiliki kemapanan ilmu atau sekedar menukil dari orang-orang yang ahli dalam perkara ini. Hal itu karena sebab-sebab penyelisihan dalam perkara ini adalah sesuatu yang samar bagi kebanyakan manusia. Sementara menghukumi seseorang dengan bid'ah itu tidak diperbolehkan, kecuali setelah jelasnya hujjah dan terbantahnya syubhat. Maka bagaimana bisa orang yang mengeluarkan jarh itu tidak memiliki kekuatan ilmu? Apakah orang seperti ini akan mampu menegakkan hujjah kepada yang lainnya? Hal ini adalah perkara yang tidak bisa diterima secara syar'i dan akal.

Kematangan ilmu bukanlah dinilai dengan banyaknya pengikut atau lamanya seseorang dalam medan dakwah. Akan tetapi yang diperhitungkan adalah keilmuan tentang sebab-sebab jarh, kaidah-kaidah jarh wa ta’dil. Demikian juga ketaqwaan, waro’, jauh dari maksiat dan tujuan jelek, sikap waspada dan tidak tergesa-gesa.

Akan tetapi banyak orang yang berbicara, sementara mereka tidak memiliki pengetahuan dalam perkara ini. Apalagi untuk menjadi seorang yang ahli ijtihad. Maka engkau akan mendapatkan orang seperti ini jika menuduh seseorang, maka dia tidak mampu mendatangkan alasan-alasan yang membenarkan tuduhannya itu, yang diketahui oleh ahlinya. Bahkan termasuk dalam hal ini, sebuah perkara yang hukum penyelisihannya jelas diketahui manusia, namun terjadi kesamaran ketika prakteknya.

Maka yang dituntut bagi penuduh adalah menetapkan tuduhan bukan sekedar mengiyaskan (membandingkan) dengan kasus penghukuman seseorang sebagai ahlul bid'ah yang dibicarakan oleh ulama -misalnya: "Perbuatan fulan itu seperti si hizby fulan, sehingga dia juga hizby seperti fulan.."- dan bukan juga sekedar keharusan-keharusan yang bersifat lemah -nisalnya: "Kalau begini, maka mesti begini hukumnya…," tanpa adanya dalil yang mengharuskan hal itu.

Anggaplah jatuhnya saudaramu ke dalam bid'ah benar-benar terbukti, maka (mesti dicermati) perbedaan antara jatuhnya seseorang dalam kekeliruan dan jatuhnya seseorang ke dalam fitnah. Bahwasanya kekeliruan bisa terjadi bersama tujuan baik tanpa menyengaja untuk berbuat salah. Adapun si maftun (orang yang terbawa fitnah) adalah yang terjatuh ke dalam bid'ah atau penyelisihan dengan sengaja dan memaksudkannya.

Masalah ini adalah masalah yang selayaknya bagi seseorang untuk berhati-hati dalam menetapkannya, karena ini adalah ibarat dari yang dimaksud dengan "terpenuhinya syarat-syarat dan hilangnya penghalang-penghalang" dalam masalah menghukumi seseorang sebagai ahlul bid'ah. Lebih-lebih orang yang jatuh kepada bid'ah atau penyelisihan adalah orang yang diketahui kejujuran dan keteguhannya. Hal itu karena keberadaannya untuk menyengaja dan memaksudkan untuk jatuh ke dalam bid'ah itu bertentangan dengan sifat-sifat baik yang telah dinisbatkan kepadanya. Maka perlu kepada bukti-bukti kuat untuk menetapkan sifat-sifat yang jelek padanya. Jika memang terbukti fitnahnya bagaimanapun juga, maka pengakuan kesalafiannya dan tazkiyyah (rekomendasi) orang lain kepadanya tidaklah bermanfaat.

Al-'Allamah Al Haitsamy rohimahulloh dalam kitab Mawariduz Zhom'an 'Ala Zawa'id Ibnu Hibban (1/614) menyebutkan dengan sanadnya dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu, bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ما أخشى عليكم بعدي الفقر ولكني أخشى عليكم التكاثر وما أخشى عليكم الخطأ ولكني أخشى عليكم العمد

“Aku tidak khawatir atas kalian adanya kemiskinan sepeninggalku nanti, akan tetapi yang aku khawatirkan adalah kalian berlomba-lomba memperbanyak harta. Tidaklah yang aku khawatirkan atas kalian itu kekeliruan, akan tetapi yang aku khawatirkan atas kalian itu adalah kesengajaan.” (dishohihkan Syaikh Al-Albany rohimahulloh)

Diantara qorinah (pertanda) yang paling jelas atas jeleknya tujuan seseorang yaitu terus-menerusnya dalam kesalahan setelah dijelaskan disertai dengan hujjah dan bukti nyata, serta pemaparan yag mencocoki kaedah, bukan yang tidak dijumpai hubungannya antara hujjah dengan vonisnya sama sekali.

Imam Asy-Syathiby rohimahulloh dalam menjelaskan jatuhnya ulama yang mendalam ilmunya ke amalan bid'ah- mengatakan: "…Maka perbuatan bid'ah darinya iru tidaklah terjadi, kecuali kekeliruan yang tidak disengaja serta dengan sekedar lewat bukan dengan tujuan. Sehingga hal itu dinamakan kekeliruan dan ketergelinciran, karena pelakunya tidak bertujuan mengikuti yang mutasyabih (samar) untuk mencari fitnah dan menta'wil Al-Kitab, yaitu tidak mengikuti dan menjadikan hawanya sebagai sandaran, sementara dalil membantahnya. Orang ini jika jelas baginya al-haq, maka dia akan tunduk terhadap al-haq tersebut dan mengakuinya.” [Al-I'tishom: 1/247]

Syaikhuna Yahya Al-Hajury hafizhohulloh mengatakan: "Mubtadi' adalah orang yang menyelisihi sunnah dan menentangnya. Telah dijelaskan kepadanya namun terus-terusan atas perbuatan tersebut." (pelajaran umum hari Ahad 15 Dzul Hijjah 1431)

(BAB 7) BAHAYANYA PERKATAAN TANPA ILMU

Alloh ta'ala berfirman:

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ

“Janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Isro’: 36)

Syaikhul Islam rohimahulloh mengatakan: ”Ini adalah larangan berbicara tanpa ilmu yang mencakup segala jenis pemberitaan. Mencakup apa-apa yang diberitakan manusia dan mencakup apa yang dia yakini dari dalil-dalil yang ayat-ayat serta tanda-tanda yang tidak layak baginya untuk berbicara dengan tanpa ilmu. Maka tidak boleh (baginya) meniadakan sesuatu, kecuali dengan ilmu dan tidak boleh menetapkan sesuatu, kecuali dengan ilmu. Berdasarkan yang demikian ini, maka para ulama menuntut orang yang meniadakan suatu perkara untuk mendatangkan dalil atas peniadaannya tersebut, sebagaimana jika dia menetapkan sesuatu, maka wajib baginya untuk mempunyai dalil atas apa yang dia tetapkan." [Al-Jawab Ash-Shohih:  6/458-459]

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وإن الرجل ليتكلم بالكلمة من الشر ما يعلم مبلغها يكتب الله عليه سخطه إلى يوم يلقاه

“Sesungguhnya seorang laki-laki yang berbicara dengan suatu kata yang dia tidak mengetahui akibat perkataannya, maka Alloh menuliskan kemarahanNya atasnya sampai hari ia menjumpai Alloh ta’ala.” (HR. Ibnul Mubarak di Az-Zuhd dari Bilal bin Al-Harits Al-Muzaniy rodhiyallohu, dishahihkan oleh Imam Al-Wadi’iy rohimahulloh Shahih Al-Musnad)

Orang yang berbicara dengan tanpa ilmu ini akan membahayakan dirinya di dunia dan akhirat. Disebutkan dalam shahih Bukhory-Muslim, dari Abu Sa’id Al-Khudriy rodhiyallohu ‘anhu bahwasanya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ رَجُلٌ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَسَأَلَ عَنْ أَعْلَمِ أَهْلِ الأَرْضِ فَدُلَّ عَلَى رَاهِبٍ فَأَتَاهُ فَقَالَ: إِنَّهُ قَتَلَ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ نَفْسًا فَهَلْ لَهُ مِنَ تَوْبَةٍ؟ فَقَالَ: لاَ. فَقَتَلَهُ فَكَمَّلَ بِهِ مِائَة...الحديث

“Dahulu pada zaman orang sebelum kalian, ada seorang laki-laki yang telah membunuh sembilan puluh sembilan jiwa, lalu dia bertanya tentang orang yang paling berilmu di muka bumi, kemudian dia ditunjukkan kepada seorang pendeta. Maka dia pun mendatanginya dan menceritakan bahwa sesungguhnya dia telah membunuh sembilan puluh sembilan jiwa. Apakah ada tobat baginya? Pendeta tadi menjawab: “Tidak ada.” Maka laki-laki itu pun membunuhnya, sehingga sempurnalah seratus orang… sampai akhir hadits."

Sebab terbunuhnya pendeta ini adalah dikarenakan berbicara dengan tanpa ilmu.

Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن الرجل ليتكلم بالكلمة من سخط الله لا يرى بها بأسا فيهوي بها في نار جهنم سبعين خريفا

"Seorang laki-laki akan berbicara dengan suatu perkataan yang menyebabkan kemurkaan Alloh. Dia mengira perkataan itu tidak ada dosa padanya, maka Alloh melemparkan dia ke dalam neraka Jahannam selama tujuh puluh tahun." (HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu, dishohihkan Imam Al-Albaniy rohimahulloh)

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن العبد ليتكلم بالكلمة ما يتبين فيها يزل بها في النار أبعد مما بين المشرق

“Sesungguhnya seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang dia tidak punya ilmu padanya, maka akan menggelincirkannya di neraka sejauh apa yang ada di antara timur (dan barat -riwayat Muslim).” (HR. Bukhory dan Muslim dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu)

Al-Allamah Al-Utsaimin rohimahulloh mengatakan: "Yang dia tidak punya ilmu padanya, yaitu tidak bisa memastikan, akan tetapi sekedar menukilkan apa yang dia dengar. Cukuplah seseorang dikatakan dusta kalau dia menceritakan segala apa yang dia dengar. Maka kamu mendapatinya berbicara dengan suatu perkataan yang dia tidak mempunyai ilmunya, tidak meminta penjelasan dan tidak mempelajari makna perkataannya serta tidak mengetahui sampai dimana akibat perkataannya. Wal'iyadzu billah, hal itu bisa menggelincirkannya ke dalam neraka Jahannam lebih jauh daripada antara timur dan barat." [Syarah Riyadhus Sholihin, hal. 1745]

Orang yang berbicara dengan tanpa ilmu juga akan membahayakan orang lain:

لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ أَلَا سَاءَ مَا يَزِرُونَ

“Mereka akan memikul dosa mereka sendiri secara sempurna pada hari kiamat dan juga dosa orang yang mereka sesatkan dengan tanpa ilmu.  Amat buruklah dosa yang mereka pikul itu." (QS. An-Nahl: 25)

Imam Al-Qurthubiy rohimahulloh dalam mentafsirkan ayat tersebut mengatakan: “Perkataan Alloh:

بِغَيْرِ عِلْمٍ

Yaitu mereka menyesatkan manusia dikarenakan kebodohan mereka tentang dosa-dosa yang harus mereka pikul, karena seandainya mereka tahu tentu mereka tidak akan menyesatkan orang lain." (selesai)

Mereka juga akan berbicara atas nama Alloh tanpa ilmu:

قَدْ خَسِرَ الَّذِينَ قَتَلُوا أَوْلَادَهُمْ سَفَهًا بِغَيْرِ عِلْمٍ وَحَرَّمُوا مَا رَزَقَهُمُ اللَّهُ افْتِرَاءً عَلَى اللَّهِ قَدْ ضَلُّوا وَمَا كَانُوا مُهْتَدِين

“Sesungguhnya rugilah orang-orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak mengetahui dan mengharamkan apa yang Alloh telah rizkikan kepada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Alloh dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am: 140)

Perkara itu adalah kekejian yang besar. Alloh ta'ala mengatakan:

إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Robbku hanya mengharamkan perbuatan keji baik yang tampak atau yang tersembunyi dan perbuatan dosa melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan Alloh dengan sesuatu yang Alloh tidak menurunkan hujjah untuk itu dan kalian mengatakan terhadap Alloh apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-A’rof: 33) 

Al-Munawi rohimahulloh mengatakan: "Maka wajib bagi orang yang berakal, lebih-lebih orang yang mempunyai kedudukan yang mulia untuk membedakan macam-macam perkataan sebelum berbicara agar perkataannya di atas pemahaman dari jiwanya dan penjelasan dari Robb-nya… Karena keadaan seseorang itu tersembunyi di bawah lisannya. Lisannyalah yang akan memberitakan tentang keberadaannya. Keadaan dirinya akan tertutupi selama ia belum berbicara." [Faidul Qodir: 4/317]

(BAB 8) NASEHAT PENUTUP

Wajib bagi kita semua untuk bertakwa kepada Alloh, mengetahui kadar diri kita masing-masing, tidak menonjol-nonjolkan diri pada perkara yang bukan porsi urusan kita. Janganlah menceburkan diri kita pada sesuatu yang kita tidak memiliki kemampuan padanya. Kita berlindung kepada Alloh agar kita tidak menjadi orang yang pura-pura kenyang dengan sesuatu yang tidak diberikan, sebagaimana sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam:

المتشبع بما لم يعط كلابس ثوبي زور

“Orang yang pura-pura kenyang dengan sesuatu yang tidak diberikan itu seperti orang yang berpakaian dengan dua baju kedustaan.” (HR. Bukhory-Muslim dari Asma' Bintu Abi Bakr rodhiyallohu 'anhuma)

Syaikh Al-'Utsaimin rohimahulloh mengatakan: "Termasuk perkara yang wajib dihindari yaitu seorang penuntut ilmu menonjol-nonjolkan dirinya sebelum ia memiliki kemampuan untuk bertindak. Karena kalau ia melakukan hal yang demikian, maka ini menjadi dalil atas beberapa perkara:

Perkara pertama: Merasa kagum pada dirinya sendiri dengan tindakan itu, sehingga dia melihat bahwa dirinya adalah orang yang paling tahu.

Perkara kedua: Yang demikian itu menunjukkan ketidak-pahamannya dan tidak adanya pengetahuan terhadap suatu perkara. Hal itu karena apabila dia coba-coba untuk tampil, bisa jadi akan terjerumus pada perkara yang dia tidak bisa terbebas lagi darinya. Jika orang-orang melihat dirinya coba-coba tampil atau membantahnya dalam beberapa perkara, maka ia tidak akan mampu menjelaskan kesalahan yang ada.

Perkara ketiga: Apabila dia melakukan tindakan sebelum mempunyai kemampuan, maka hal itu mengharuskan dia untuk berkata atas nama Alloh yang dia tidak mengetahuinya, karena keumumam orang yang tujuannya seperti ini, ia tidak menghiraukan dan menjawab apa saja yang ditanyakan. Dikhawatirkan atas agamanya dan perkataannya atas Alloh tanpa ilmu.

Perkara keempat: Bahwasanya manusia apabila menonjol-nonjolkan diri, kebanyakannya tidak menerima kebenaran. Karena dia merasa bodoh apabila tunduk kepada orang lain, meskipun orang itu bersama kebenaran. Maka ini adalah bukti kalau dia itu bukan orang yang berilmu." [Kitabul 'Ilmi, hal. 92]

Hendaknya kita bermusyawarah dengan ulama pada perkara-perkara yang kita belum matang, terlebih pada masalah yang berkaitan dengan maslahat dan mafsadat bersama. Hal itu karena Ahlussunnah senantiasa berada dalam kebaikan, selama mereka berhubungan dengan para ulama yang mengarahkan mereka kepada Al-Kitab dan As-Sunnah, serta mendekatkan mereka dengan pemahaman salaf, sebagaimana firman Alloh:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Bertanyalah kalian kepada orang yang memiliki ilmu jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Alloh berfirman:

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

“Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lantas menyiarkannya. Kalaulah mereka mengembalikannya kepada rosul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang dari kalangan mereka yang bisa menarik suatu hukum akan mengetahuinya. Kalau bukan karena karunia dan rahmat Alloh, tentulah kalian akan mengikuti syaithon, kecuali sebagian kecil saja diantara kalian.” (QS. An-Nisa’: 83)

Al-'Allamah As-Sa'dy rohimahulloh dalam tafsirnya mengatakan: "Ini adalah pengajaran dari Alloh untuk hamba-Nya terhadap perbuatan mereka yang tidak sepantasnya. Selayaknya bagi mereka apabila datang perkara dari perkara-perkara yang penting dan menyangkut kemaslahatan umum, yang berkaitan dengan keamanan dan kebahagiaan kaum mukminin ataupun perkara yang menimbulkan ketakutan mereka, untuk mencari kepastian dan jangan tergesa-gesa menyebarkan kabar tersebut. Bahkan perkara tersebut dikembalikan kepada Rosul dan ulil amri (ulama & umaro) diantara mereka, yaitu orang yang memiliki akal, ilmu, nasehat dan keteguhan. Merekalah yang mengetahui perkara-perkara, mengetahui maslahat-maslahat dan kebalikannya. Apabila mereka melihat pada penyebaran itu ada maslahat bagi orang-orang mukmin, kebahagiaan untuk mereka dan menjaga dari musuh-musuh mereka, maka mereka akan menyebarkannya. Apabila mereka melihat hal itu tidak ada maslahatnya, atau ada maslahatnya tapi bahayanya lebih besar dari maslahatnya, maka tidak mereka tidak akan menyebarkannya. Karena itulah Alloh berfirman:

لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ

“Tentulah orang-orang dari kalangan mereka yang bisa menarik hukum akan mengetahuinya.”

Maksudnya, mereka akan mengeluarkan pemikirannya, pendapat-pendapat yang benar dan ilmu-ilmu mereka yang memberikan petunjuk.

Padanya terdapat dalil atas kaedah yang berkaitan dengan adab, yaitu apabila terjadi pembahasan pada suatu perkara, semestinya diserahkan pada orang yang ahli untuk itu, dibawa kepada ahlinya dan jangan mendahului mereka. Karena itu lebih dekat kepada kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan. Di dalamnya terdapat larangan untuk tergesa-gesa dan terburu-buru untuk menyebarkan perkara-perkara tatkala mendengarnya, sementara perkara itu hendaknya diperhatikan dan dilihat sebelum dibicarakan, apakah ada maslahatnya untuk dihadapkan kepada manusia atau tidak ada maslahatnya, sehingga mesti ditinggalkan." (selesai)

Pembahasan kita ini adalah seputar orang yang telah mendatangkan suatu bukti -tetapi tidak serta-merta mengharuskan vonisnya itu diterima, karena harus ada kesesuaian antara vonis, bukti dan kaidah syar'i yang berlaku-, maka bagaimana lagi bagi orang yang tidak mendatangkannya? Sementara ia berkata: "Pokoknya si fulan melakukan bid'ah, maka dia mubtadi'! Pokoknya si fulan itu hizby!" Kemudian dia berkata: “Orang yang mengetahui adalah hujjah bagi yang tidak mengetahui!“ atau “Penetapan itu dikedepankan daripada peniadaan“ dan kaidah-kaidah semisal dengannya, yang pada hakikatnya kaidah-kaidah itu ibarat cabang dari penetapan bukti, dimana dia baru pantas menggunakan kaedah-kaedah ini setelah mendatangkan penjelasan dan bukti penuduh atas sebab tuduhannya. Jika dia tidak mendatangkan bukti, maka apa faedahnya? Bahkan ini menunjukkan lemahnya orang yang menuduh, yang menjadi sebab ditolaknya tuduhan ini.

Ibnu Sholah rohimahulloh di dalam Muqoddimahnya mengatakan: "Adapun suatu jarh, maka sungguh tidak diterima kecuali dengan detail dan menjelaskan sebab. Dikarenakan orang-orang berbeda pendapat tentang mana yang pantas di-jarh dan mana yang tidak. Sehingga (bisa saja) salah seorang diantara mereka men-jarh sesuatu dibangun di atas keyakinannya bahwa perkara tersebut pantas di-jarh, padahal secara hukum pada perkara tersebut tidak ada jarh. Maka wajib menjelaskan sebabnya, agar bisa dilihat apakah itu jarh (yang tepat) ataukah tidak." (selesai)

Adapun perkataan sebagian orang: "Kalau di kitab-kitab rijal, mengapa kita menerima perkataan Ahmad, Abu Zur'ah dan selainnya, walau mereka tidak menjelaskan sebabnya?!" Jawabannya adalah dikarenakan tidak mungkin bagi kita di masa sekarang untuk menanyakan sebab alias perkara tersebut muta'adzdzar. (tidak dimungkinkan). Wallohu a'lam.

Perkataan Ibnu Sholah ini, apabila suatu jarh datang dari orang yang ahli dan telah menyempurnakan syarat-syaratnya. Adapun engkau wahai orang yang miskin, maka siapakah dirimu ini?!

قل هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Katakanlah: "Tidaklah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Az-Zumar: 9)

Maka wajib bagi orang yang tertimpa penyakit ini, yaitu terburu-buru di dalam perkara semisal ini, untuk bertaubat kepada Alloh, menahan lisannya, menuntut ilmu tentang agama Alloh dan memperbaiki dirinya sebelum orang lain. Jadilah dia seorang yang baik di kalangan saudara-saudaranya,  pemberi faedah dan bukan pembuat kerusakan.

Rosulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن من الناس مفاتيح للخير مغاليق للشر. وإن من الناس مفاتيح للشر مغاليق للخير. فطوبى لمن جعل الله مفاتيح الخير على يديه. وويل لمن جعل الله مفاتيح الشر على يديه

“Sungguh sebagian manusia adalah kunci untuk kebaikan, penutup untuk kejelekan dan sebagian manusia adalah penutup untuk kebaikan, kunci untuk kejelekan.  Maka berbahagialah bagi orang yang Alloh jadikan kunci kebaikan pada tangannya dan celakalah bagi orang  yang Alloh jadikan kunci kejelekan pada tangannya.” (hadits ini dari Anas bin Malik, dihasankan oleh Al-'Allamah Al-Albani dengan segenap  jalan-jalannya)

Rosulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُكُمْ مَنْ يُرْجَى خَيْرُهُ وَيُؤْمَنُ شَرُّهُ وَشَرُّكُمْ مَنْ لَا يُرْجَى خَيْرُهُ وَلَا يُؤْمَنُ شَرُّه

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang diharapkan kebaikannya dan aman dari kejelekannya dan sejelek-jelek kalian adalah orang yang tidak diharapkan kebaikannya dan tidak aman dari kejelekannya.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abu Hurairoh rodhiyallohu ‘anhu, dihasankan Imam Al-Wadi`i)

Dikhawatirkan bagi orang yang menempuh metode seperti ini, yaitu bergampangan dalam mengkafirkan, menghizbikan atau memfasikkan orang, apabila dia terus-terusan dalam keadaan seperti ini, maka tuduhan itu bakal kembali kepadanya. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لا يرمي رجل رجلا بالفسوق ولا يرميه بالكفر إلا ارتدت عليه إن لم يكن صاحبه كذلك

“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan dan tidak pula menuduhnya dengan kekafiran, kecuali tuduhan itu akan kembali kepadanya  jika yang dituduh itu tidak demikian.” (HR. Bukhory-Muslim dari Abu Dzar rodhiyallohu ‘anhu)

Ini lafazh di Shohih Bukhori. Adapun di Shohih Muslim:

وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ. وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang memanggil seseorang dengan kekufuran atau berkata: "Wahai musuh Alloh," sementara dia tidaklah demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepadanya.”

Ibnul-Wazir rohimahulloh berkata: "Sangat berbahaya bagi orang yang menuduh saudaranya semuslim dengan kekafiran. Sungguh meyakinkan dengan hadits ini, bahwa tuduhan itu akan kembali kepada si penuduh sendiri apabila saudaranya tidak seperti apa yang ia dituduhkan. Maka hendaklah dia berhati-hati selamanya untuk menuduh seseorang yang perkaranya masih diragukan dan tersamar dan demikian juga untuk menuduh dengan kefasikan, karena dia sedang di jalan kembalinya tuduhan tersebut kepadanya jika tidak dibangun di atas keyakinan." [Ifshoh 'An Ma'anis Shohih pada hadits kesebelas dari Musnad Abu Dzar rodhiyallohu ‘anhu]

Sebagaimana bid'ah itu ada yang dapat memfasikkan dan ada juga yang mengkafirkan, begitu juga perkara pembid'ahan seseorang. Seorang pelaku bid'ah itu bisa menjadi fasik atau kafir sesuai dengan kadar penyimpangannya dari agama Alloh.

Sekarang sadar ataukah tidak, orang yang tergesa-gesa menghukumi ini telah terjerumus dalam kebid'ahan. Hal itu karena sesungguhnya penuduhan seseorang tanpa alasan yang membenarkan, termasuk perbuatan ghuluw (melampaui batas). Sementara ghuluw tergolong perbuatan mengada-ada dalam agama. Bukanlah sesuatu yang jauh kemungkinannya apabila dia terus-menerus dalam keadaan seperti ini, maka dialah yang lebih pantas disifati sebagai mubtadi'.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh mengatakan: "Maka dapat diketahui bahwasanya seseorang yang menyandarkan diri kepada Islam dan As-Sunnah pada zaman ini, bisa keluar dari Islam dan As-Sunnah. Sehingga bakal dijumpai orang yang mengaku-aku sebagai ahlussunnah, padahal dia bukan tergolong di dalamnya, bahkan dia telah keluar dari sunnah. Hal itu diantaranya disebabkan sikap ghuluw yang Alloh ta'ala cela di dalam kitab-Nya." [Majmu' Fatawa: 3/373]

Saya cukupkan sampai di sini. Kita memohon kepada Alloh ketegaran dan keselamatan, walhamdulillah.

Ditulis oleh saudara kalian fillah: Abu Ja'far Al-Harits bin Dasril Al-Minangkabawy Al-Indunisi -jazahullohu khoiron- (Kamis, 26 Robi'uts Tsani 1432, di Darul Hadits Dammaj, semoga Alloh merahmati pendirinya dan menjaga penerusnya)
Editor: Mushlih Abu Sholeh (rev. 7 Robi'ul Awwal 1436).








































lembaran-lembaran ilmiah • وما توفيقي إلا بالله • mushlihabusholeh.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar