بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا، أما بعد
Perpecahan umat Islam merupakan kenyataan pahit yang dialami oleh kaum muslimin secara umum. Terlebih lagi pada akhir zaman, setelah merajalelanya kejahilan dan kecenderungan untuk mengikuti hawa nafsu dan kepuasan duniawi. Demikian juga, jauhnya mereka dari bimbingan ilahi dengan banyak meninggalkan ajaran agama yang lurus dan cenderung mengedepankan akal pikiran semata dalam menjalani kehidupan dunia ini. Dengan demikian, muncullah berbagai penyimpangan syariat baik berupa sikap ghuluw (berlebihan), banyaknya perdebatan dalam perkara agama, munculnya fanatisme sempit, kerusuhan dan pemberontakan terhadap waliyul amr, baik dari kalangan ulama’ maupun umaro’ atau sikap menyerupai dan mengekor terhadap orang-orang kafir. Hal itu semua merupakan sebab-sebab timbul dan maraknya perpecahan umat ini, sehingga menyebabkan keadaan umat Islam semakin terpuruk.
Akankah kita terus berpangku tangan dan acuh tak acuh terhadap kenyataan yang ada itu? Masa bodoh dengan nasib umat, bahkan terhadap keselamatan diri dan agama kita sendiri, sehingga kita akan terus terseret arus perpecahan itu?!
Tentunya sebagai seorang muslim yang baik, hendaknya cerdas dalam menanggapi apa yang terjadi di sekitarnya, terlebih lagi terhadap perkara-perkara yang berdampak buruk terhadap diri dan agamanya di dunia dan akherat, diantaranya adalah perpecahan umat tersebut. Hal itu dengan cara mengenal hakekat perpecahan itu sendiri serta mengetahui dan mengerti akan pentingnya untuk mempelajarinya.
Makna Perpecahan
Istilah perpecahan umat dalam pembahasan syariat Islam memiliki beberapa makna:
Pertama: perpecahan dan perselisihan dalam agama. Hal ini sebagaimana dalam firman Alloh -ta’ala-:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Berpeganglah kalian semuanya dengan kitab Robb kalian dan petunjuk Nabi kalian dan janganlah melakukan perkara yang mengantarkan kalian kepada perpecahan.” (Tafsir Muyassar QS. Ali Imron: 103)
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Janganlah kalian -wahai kaum mukminin- menyerupai ahli kitab yang terjatuh pada permusuhan, sehingga mereka berpecah belah menjadi kelompok-kelompok dan mereka berselisih pada pokok-pokok agama mereka sesudah datang kebenaran dengan jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang pantas mendapatkan siksa yang berat.” (Tafsir Muyassar QS. Ali Imron: 105)
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka setelah sebelumnya mereka bersatu di atas tauhidulloh dan mengamalkan syariat-Nya, sehingga menjadi berkelompok-kelompok, maka sesungguhnya engkau -wahai Rosul- telah berlepas diri dari mereka itu. Sesungguhnya hukum mereka hanyalah terserah kepada Alloh ta'ala. Kemudian Alloh akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat, sehingga akan membalas siapa yang bertaubat di antara mereka dengan kebaikan-Nya dan menghukum siapa yang berbuat jelek dengan adzab-Nya.” (Tafsir Muyassar QS. Al-An’am: 159)
Sabda Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-:
إنما هلك من كان قبلكم من الأمم باختلافهم في الكتاب
“Terjadinya kebinasaan umat-umat sebelum kalian itu hanyalah karena penyelisihan mereka terhadap Al-Kitab.” (HR. Muslim dari Abdulloh bin ‘Amr -rodhiyallohu ‘anhuma-)
Kedua: perpecahan terhadap jama’ah kaum muslimin yang merupakan keumuman umat Islam pada zaman Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan para shahabat beliau.
Jama'ah kaum muslimin tersebut dijuluki sebagai Ahlussunnah setelah munculnya kelompok-kelompok sempalan yang ada. Maka siapa yang menyelisihi jalan mereka pada suatu perkara pokok (prinsip) agama -baik dalam aqidah atau manhaj-, sehingga membangkang terhadap para ulama agama dan memberontak, maka dialah biang perpecahan itu. Orang seperti inilah yang disebutkan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam sebuah sabda beliau:
من خرج من الطاعة وفارق الجماعة ثم مات مات ميتة جاهلية ومن قتل تحت راية عمية يغضب للعصبة ويقاتل للعصبة فليس من أمتي ومن خرج من أمتي على أمتي يضرب برها وفاجرها لا يتحاش من مؤمنها ولا يفي بذي عهدها فليس مني
“Siapa yang keluar dari ketaatan dan menyimpang dari jama’ah kemudian ia mati, maka matinya seperti kematian jahiliyah. Siapa yang berperang di bawah bendera fanatisme buta, marah dan berperang karenanya, maka dia bukan dari umatku. Siapa yang keluar dari umatku, menghantam yang sholeh maupun jahat, tidak peduli dengan kaum mukminnya dan tidak menepati perjanjian dengan ahli dzimmahnya (orang kafir yang terikat perjanjian dengan kaum muslimin), maka dia bukanlah bagian dariku.” (HR. Muslim dari Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu-)
Maka beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan beberapa jenis orang yang termasuk dalam golongan pembangkang dan pemberontak:
1. Orang-orang yang berpecah dari jama’ah muslimin.
2. Orang-orang yang keluar dari ketaatan terhadap pemimpin kaum muslimin.
3. Memberontak terhadap umat dengan cara kekerasan.
4. Orang-orang yang berperang di bawah bendera fanatisme buta.
Oleh karena itu, sikap keluar dari jalan Ahlussunnah wal jama’ah, meskipun hanya pada satu perkara pokok dari prinsip-prinsip agama, baik dalam bidang aqidah maupun selainnya atau berhubungan dengan kemaslahatan umat yang besar, semua itu termasuk dalam perpecahan yang dapat menyebabkan fitnah, peperangan, pembangkangan dan kebid’ahan. Para pelakunya dijuluki dengan ahli ahwa’ dan ahli bida’.
Syaikhul Islam -rohimahulloh- dalam Al Istiqomah (1/42) berkata: “Kebid’ahan itu beriringan dengan perpecahan, sebagaimana as-sunnah itu beriringan dengan al-jama’ah (persatuan). Sehingga mereka dijuluki dengan: Ahlussunnah wal jamaa’ah, sebagaimana lawan mereka dijuluki dengan: ahlul bid’ah wal furqoh.” (Mausu’ah Al-Firoq: 1/5)
Perpecahan umat itu terlarang
Banyak dalil-dalil yang berisi tentang perintah untuk berjama’ah diiringi dengan larangan dari perpecahan pada satu tempat, padahal perintah untuk berjamaah tersebut mengandung konsekuensi larangan untuk berpecah dan sebaliknya, meskipun tidak disebutkan dalam satu tempat. Hal ini sesuai dengan kaedah yang mengatakan: “Seluruh perintah untuk melakukan sesuatu itu mengandung konsekuensi larangan untuk melakukan kebalikannya.” Hal ini menunjukkan begitu ditekankannya perkara wajibnya berjamaah serta larangan untuk berpecah-belah.
Diantara dalil-dalil tersebut adalah firman Alloh -ta’ala-:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Berpeganglah kalian semuanya kepada kitab Robb kalian dan petunjuk Nabi kalian dan janganlah melakukan perkara yang mengantarkan kepada perpecahan. Ingatlah akan nikmat Alloh yang besar atas kalian ketika dahulu (masa Jahiliyah) kalian -wahai kaum mukminin- saling bermusuhan. Maka Alloh mempersatukan hati kalian di atas kecintaan terhadap-Nya dan Rosul-Nya, lalu Alloh lemparkan pada hati-hati kalian rasa cinta di antara kalian, sehingga kalian menjadi bersaudara dan saling mencintai dengan keutamaan-Nya. Kalian dulunya telah berada di tepi jurang neraka Jahannam, lalu Alloh memberi petunjuk kepada kalian dengan Islam serta menyelamatkan kalian dari neraka. Demikianlah, sebagaimana Alloh telah menerangkan tanda-tanda keimanan yang benar kepada kalian, maka Alloh juga menerangkan kepada kalian setiap perkara kemashlahatan bagi kalian agar kalian mendapat petunjuk kepada jalan yang benar, sehingga dengan menitinya kalian tidak akan tersesat.” (Tafsir Muyassar QS. Ali Imron: 103)
Pada ayat ini Alloh -‘azza wa jalla- memerintahkan kita untuk berpegang dengan jama’ah di atas kalimat yang haq serta mentaati Alloh dan Rosul-Nya, karena hal itu merupakan keselamatan serta merupakan sesuatu yang diridhoi oleh-Nya dan melarang dari berpecah-belah dalam agama ini, menuruti hawa nafsu dan kepentingan-kepentingan duniawi, seperti berpecahnya Yahudi dan Nashrani dalam agama mereka, karena hal itu merupakan kebinasaan serta dibenci oleh-Nya. Perintah untuk berjamaah ini bersifat umum untuk seluruh umat di setiap tempat dan zaman. Ini merupakan salah satu dari kaedah pokok agama Islam yang dengannya akan terwujud kesepakatan kata, keteraturan di segala bidang kehidupan baik dunia maupun agama dan keselamatan dari perselisihan. (Tafsir Ath-Thobariy, Ibnu Katsir dan Al-Qurthubiy pada ayat ini)
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
إن الله يرضى لكم ثلاثا ويكره لكم ثلاثا فيرضى لكم أن تعبدوه ولا تشركوا به شيئا وأن تعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا ويكره لكم ثلاثا قيل وقال وكثرة السؤال وإضاعة المال
“Sesungguhnya Alloh meridhoi kalian pada tiga perkara dan membenci pada tiga perkara pula. Meridhoi kalian untuk menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun; berpegang teguh dengan tali Alloh seluruhnya dan tidak berpecah-belah. Alloh membenci kalian pada: berita-berita yang tidak jelas kebenarannya (isu-isu berdasarkan katanya dan katanya); banyak bertanya yang tidak bermanfaat serta menyia-nyiakan harta.” (HR. Muslim dari Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu-)
Demikian juga firman Alloh -ta’ala-:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Bahwa termasuk yang telah Alloh wasiatkan kepada kalian adalah Islam ini. Ia adalah jalan Alloh ta'ala yang lurus, maka ikutilah dia dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain yang sesat, karena hal itu mencerai-beraikan dan menjauhkan kalian dari jalan-Nya yang lurus. Yang demikian itu diperintahkan Alloh agar kalian takut akan adzab-Nya dengan mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.” (Tafsir Muyassar QS. Al-An’am: 153)
Pada ayat ini Alloh -ta’ala- memerintahkan kaum muslimin untuk berjama’ah dan melarang mereka untuk berselisih dan berpecah-belah dalam agama-Nya yang ini merupakan sebab kebinasaan umat-umat terdahulu. Yang dimaksud dengan ‘jalan-Ku’ yang wajib ditempuh di sini adalah metode dan ajaran agama yang telah diridhoi oleh Alloh -ta’ala- bagi hamba-hamba-Nya yang hal itu adalah ajaran yang lurus, tidak ada kebengkokan sedikit pun dari al-haq. Adapun jalan-jalan selainnya yang wajib ditinggalkan adalah jalan-jalan selain agama Islam, baik berupa ajaran Yahudi, Nashrani, Majusi dan selainnya berupa kebid’ahan dan kesesatan. (Tafsir Al-Qurthubiy)
Tidaklah perpecahan yang terjadi pada kaum muslimin itu, melainkan karena perbedaan metode (manhaj) dalam memahami agama. Oleh karena itu, Alloh -ta’ala- menerangkan bahwa jalan yang benar dan menghantarkan kepada persatuan itu hanyalah satu serta memerintahkan kita untuk berkumpul dan bersatu di atas jalan tersebut. Adapun jalan-jalan selainnya akan menghantarkan kepada cabang-cabang kesesatan dan kebid’ahan sebagaimana kenyataan yang telah terjadi di zaman ini. (Tafsir Ibnu Katsir)
Dalam hadits Ibnu Mas’ud -rodhiyallohu ‘anhu-, Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
خط لنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يوما خطا ثم قال هذا سبيل الله ثم خط خطوطا عن يمينه وخطوطا عن يساره ثم قال هذه سبل على كل سبيل منها شيطان يدعو إليها ثم قرأ هذه الآية
“Suatu hari Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- mengguratkan satu garis lurus, kemudian bersabda: “Ini adalah jalan Alloh.” Kemudian beliau membuat garis-garis lain di sebelah kanan dan kirinya, lalu bersabda: “Ini adalah jalan-jalan yang pada setiap jalan itu terdapat setan yang menyeru kepadanya.” Kemudian beliau membaca ayat tersebut di atas.” (HR. Ahmad dan selainnya, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albaniy -rohimahulloh- dalam Tahqiq Syarh Ath-Thohawiyah)
Dalam hadits An-Nawwas bin Sam’an Al-Anshoriy -rodhiyallohu ‘anhu-: “Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
ضرب الله مثلا صراطا مستقيما وعلى جنبتي الصراط سوران بينهما أبواب مفتحة وعلى الأبواب ستور مرخاة وعلى باب الصراط داع يقول يا أيها الناس ادخلوا الصراط جميعا ولا تتفرقوا وداع يدعو فوق الصراط فإذا أراد إنسان فتح شيء من تلك الأبواب قال له ويحك لا تفتحه فإنك إن تفتحه تلجه فالصراط الإسلام والستور حدود الله والأبواب محارم الله والداعي على رأس الصراط كتاب الله تعالى والداعي من فوق الصراط واعظ الله في قلب كل مسلم
“Alloh memberikan permisalan ebuah jalan yang lurus, di kedua tepinya terdapat pagar yang memiliki pintu-pintu terbuka. Pada pintu-pintu tersebut terdapat tirai-tirai terjulur dan di pintu (ujung) jalan itu terdapat seorang penyeru yang menyerukan: “Wahai manusia, masuklah jalan ini semuanya dan janganlah kalian berpencar-pencar.” Seorang penyeru lainnya berada di atas jalan tersebut. Jika seseorang ingin membuka sesuatu dari pintu-pintu itu, maka ia berseru: “Celaka kau, jangan dibuka! Jika engkau membukanya, maka engkau akan memasukinya (sehingga akan celaka).” Maka jalan lurus itu adalah Islam, sedangkan tirai-tirai itu adalah rambu-rambu (larangan) Alloh. Adapun pintu-pintu itu adalah larangan-larangan Alloh, sedangkan penyeru di ujung jalan itu adalah kitabulloh -ta’ala- (Al-Quran) dan penyeru yang berada di atas jalan itu adalah penasehat Alloh dalam hati seorang muslim.” (HR. Ahmad dan selainnya, dishohihkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya dan Syaikh Al-Albaniy dalam Shohihul Jami’)
(Mausu’ah Al-Firoq: 1/9-12)
Perpecahan umat itu pasti terjadi
Setelah kita mengetahui bahwa perpecahan umat tersebut merupakan perkara yang sangat terlarang oleh syariat dan sebagai penyebab kebinasaan, maka perlu diketahui bahwa Alloh -ta’ala- telah mengabarkan bahwa hal itu pasti terjadi pada umat ini dengan takdir Alloh yang penuh dengan hikmah. Hal ini tidaklah membuat kita menyerah dan berpangku-tangan dalam menghadapi kenyataan ini, sehingga hanyut di dalamnya. Akan tetapi, pengabaran dan peringatan Alloh -ta’ala- akan hal tersebut mendorong kita kaum muslimin untuk mewaspadai dan menghindarinya, sehingga terselamatkan dari kejelekannya.
Alloh -ta’ala- berfirman:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ * إِلَّا مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Jikalau Robb-mu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu di atas agama yang satu yaitu Islam. Akan tetapi, Alloh belumlah menghendakinya. Maka manusia senantiasa berselisih dalam agama-agama mereka sesuai konsekuensi hikmah-Nya, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Robb-mu, maka mereka beriman kepada-Nya dan mengikuti Rosul-Nya. Mereka tidak berselisih dalam mentauhidkan Alloh dan ajaran Rosul-Nya. Maka sudah menjadi konsekuensi hikmah-Nya subhanahu wa ta'ala untuk menciptakan mereka berbeda-beda, sebagian celaka dan sebagian lainnya berbahagia. Setiap orang dimudahkan jalannya masing-masing. Dengan itu, terwujudlah janji Robbmu pada takdir-Nya, bahwasanya Dia akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia yang mengikuti Iblis beserta tentaranya serta tidak mengambil petunjuk kepada keimanan.” (Tafsir Muyassar QS. Hud: 118-119)
Alloh -ta’ala- berfirman:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
“Jikalau Robb-mu -wahai Rosul- menghendaki keimanan bagi seluruh penduduk bumi, tentulah akan beriman orang yang ada di muka bumi ini seluruhnya terhadap apa ajaran yang engkau bawa. Akan tetapi ada hikmah Alloh di balik itu. Sesungguhnya Dia memberikan hidayah bagi siapa yang dikehendakinya dan menyesatkan siapa yang dikehendakinya sesuai dengan hikmah-Nya. Maka engkau tidak bisa memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?!” (Tafsir Muyassar QS. Yunus: 99)
Ayat ini menerangkan bahwa sekiranya Alloh -ta’ala- menghendaki, niscaya seluruh penduduk bumi menjadi beriman, bersatu di atas al-haq, tidak berpecah-belah dan berselisih. Akan tetapi Alloh -ta’ala- belumlah menghendaki yang demikian itu, karena tidak sesuai dengan kemaslahatan yang dikehendaki-Nya. Ketika Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sangat menginginkan berimannya seluruh manusia, maka Alloh -ta’ala- mengabarkan bahwa hal itu tidak akan terjadi, karena bertentangan dengan hikmah Alloh yang tinggi atas hamba-hamba-Nya. (Fathul Qodir: 2/474, karya Imam Asy-Syaukaniy -rohimahulloh-)
Semisal dengan ayat itu adalah firman-Nya:
وَلَوْ أَنَّ قُرْآنًا سُيِّرَتْ بِهِ الْجِبَالُ أَوْ قُطِّعَتْ بِهِ الْأَرْضُ أَوْ كُلِّمَ بِهِ الْمَوْتَى بَلْ لِلَّهِ الْأَمْرُ جَمِيعًا أَفَلَمْ يَيْأَسِ الَّذِينَ آمَنُوا أَنْ لَوْ يَشَاءُ اللَّهُ لَهَدَى النَّاسَ جَمِيعًا وَلَا يَزَالُ الَّذِينَ كَفَرُوا تُصِيبُهُمْ بِمَا صَنَعُوا قَارِعَةٌ أَوْ تَحُلُّ قَرِيبًا مِنْ دَارِهِمْ حَتَّى يَأْتِيَ وَعْدُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُخْلِفُ الْمِيعَادَ
“Alloh ta'ala membantah orang-orang kafir yang menginginkan turunnya mukjizat yang nyata kepada Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam dengan mengatakan: "Sekiranya di sana ada suatu kitab suci yang dengan membacanya gunung-gunung dapat tergoncangkan dari tempatnya, bumi menjadi terbelah menjadi sungai-sungai atau oleh karenanya orang-orang yang sudah mati menjadi hidup dan dapat berbicara -sebagaimana yang mereka minta darimu-, maka Al Quran itu bersifat seperti itu dan mereka tidak juga akan beriman dengannya. Sebenarnya segala urusan itu -baik perkara mukjizat dan selainnya- adalah milik Alloh. Maka tidakkah orang-orang yang beriman itu mengetahui bahwa seandainya Alloh menghendaki, niscaya semua manusia akan beriman tanpa mukjizat itu?! Orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan kekufuran mereka sendiri, baik terbunuh ataupun tertawan di peperangan melawan muslimin atau bencana itu terjadi dekat tempat kediaman mereka, sehingga datanglah janji Alloh berupa kemenangan atas muslimin. Sesungguhnya Alloh tidaklah menyalahi janji.” (Tafsir Muyassar QS. Ar-Ro’d: 31)
Maka keimanan seluruh manusia di muka bumi ini serta hidayah untuk mereka tidaklah dikehendaki oleh Alloh untuk terjadi secara kauni (kenyataan), sehingga perpecahan akan terus ada di antara mereka. Siapa yang dikehendaki oleh Alloh beriman, maka akan diberi hidayah dan siapa yang tidak dikehendakinya secara kauni, maka akan disesatkan. Alloh adalah Al-Malik Al-Hakim Al-‘Alim (maha penguasa, pemilik hikmah dan mengetahui) pada segala urusan-Nya. (Tafsir Ibnu Katsir, Syarh Ath-Thohawiyah: 2/775 dan Fathul Bariy: 13/296)
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- juga telah mengabarkan bahwasanya akan muncul pada zaman Islam kelompok-kelompok sempalan yang bermacam-macam seperti apa yang telah terjadi pada agama-agama sebelumnya. Beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
افترقت اليهود إحدى وسبعين فرقة وافترقت النصارى اثنتين وسبعين فرقة وتفترق أمتي ثلاثا وسبعين فرقة كلهم في النار إلا واحدة فقيل يا رسول الله من الناجية فقال ما أنا عليه وأصحابي وفي خبر آخر أنه قال الجماعة
“Yahudi telah terpecah menjadi 71 kelompok. Nashrani telah terpecah menjadi 72 kelompok. Sedangkan umatku nanti akan terpecah menjadi 73 kelompok. Semuanya di neraka, kecuali satu saja.” Beliau ditanya: “Siapa yang selamat itu, wahai Rosululloh?” Beliau menjawab: “Apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya.” Dalam riwayat lain beliau menjawab: “Ia adalah al-jama’ah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidziy dari Abdulloh bin ‘Amr -rodhiyallohu ‘anhu- dan riwayat kedua oleh Abu Dawud dari Mu’awiyyah -rodhiyallohu ‘anhu-, dihasankan oleh Syaikh Al-Albaniy -rohimahulloh- dalam Shohih Sunan Abu Dawud dan At-Tirmidziy dan riwayat Ibnu Majah dari Anas dan‘Auf bin Malik -rodhiyallohu ‘anhuma-, dishohihkan oleh beliau dalam Shohih Sunan Ibnu Majah)
Dari dalil-dalil tersebut di atas, jelaslah bahwa perpecahan umat telah terjadi sebagaimana yang telah kita lihat bersama di zaman ini dengan munculnya 'bendera-bendera' hizbiyyah, fanatisme golongan ataupun pemikiran-pemikiran pada perkara-perkara agama, juga dengan sebab rakus dan tamak terhadap dunia dan ini banyak sekali terjadi. Dalil-dalil tersebut tidak hanya mengabarkan akan terjadinya perpecahan umat, sehingga diketahui oleh kaum muslimin dan cukup sampai di situ saja, akan tetapi juga mengandung perintah untuk senantiasa waspada akan hal tersebut, sehingga dapat terhindar darinya dengan cara berpegang teguh dengan as-sunnah dan al-jama’ah serta memperingatkan umat dari kelompok-kelompok Islam sempalan tersebut. (Asy-Syari’ah: 1/280, karya Imam Al-Ajurriy dan Iqtidho’ Shirothil Mustaqim: 1/143, karya Syaikhul Islam -rohimahumalloh-)
Maka wajib atas setiap muslim untuk membentengi aqidahnya supaya tidak tercampur dan menjadi rusak dengan aqidah-aqidah mereka yang telah rusak, juga pada perkara-perkara agama lainnya dari kesesatan-kesesatan mereka.
Telah muncul di negeri-negeri Islam kelompok-kelompok ahli bid’ah yang menipu orang-orang awam dan yang lengah dengan ajaran-ajaran yang mengatas-namakan Ahlussunnah wal jama’ah untuk melariskan dagangan mereka dan menampakkan diri seolah-olah merekalah golongan yang benar dengan kekuatan dan banyaknya jumlah mereka. Sehingga banyak orang-orang yang terlena dengan bujukan serta rayuan mereka dan tidak mengerti akan kejahatan dan kebatilan mereka. Akan tetapi jika kaum muslimin sadar dan mau melakukan apa yang telah menjadi kewajiban mereka, niscaya kebatian yang sementara tampak kuat itu akan hancur juga dan sirna. Ini merupakan sunnatulloh yang berlaku atas hamba-hamba-Nya.
Alloh -ta’ala- berfirman:
بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهُ فَإِذَا هُوَ زَاهِقٌ
“Bahkan Kami lontarkan dan terangkan al haq itu, maka ia membantah yang batil, sehingga dengan serta merta kebatilan itu menjadi hilang dan sirna.” (Tafsir Muyasssar QS. Al-Anbiya’: 18)
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Alloh meneguhkan keimanan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang haq lagi teguh, yaitu syahadat laa ilaha illalloh (tiada yang berhak untuk diibadahi kecuali Alloh) dan Muhammad adalah Rosululloh serta ajaran agama yang dibawanya dalam kehidupan di dunia sampai menjelang kematiannya dengan husnul khotimah dan di kuburannya ketika ditanya oleh dua malaikat dengan jawaban yang benar. Alloh menyesatkan orang-orang yang dzolim di dunia dan akhirat dan Alloh memperbuat apa yang dikehendaki-Nya dengan memberikan hidayah bagi ahli iman dan membiarkan ahli kufur serta melampaui batas.” (Tafsir Muyassar QS. Ibrohim: 27)
(At-Tabshiir fid-Dien, hal.15-16; Mausu’atul Firoq: 1/26-28)
Pentingnya mengetahui kelompok-kelompok sesat beserta tokoh-tokohnya
Alloh -tabaroka wa ta’ala- memerintahkan hamba-Nya untuk mengenal-Nya, baik dalam dzat, sifat-sifat, keadilan, hikmah, kesempurnaan sifat-sifat-Nya, berlakunya segala apa yang dikehendaki-Nya maupun kesempurnaan serta keumuman kekuasaan-Nya. Tidaklah hal itu diperoleh dengan sempurna, melainkan dengan meniadakan segala bentuk kekurangan dari-Nya dan dengan menetapkan sifat-sifat yang sempurna bagi Alloh tanpa dicampuri dengan kebid’ahan dari orang-orang yang menyimpang.
Jadi perintah Alloh -ta’ala-tersebut mencakup dua perkara, yaitu: pengenalan terhadap hal-hal yang wajib untuk diketahui dan dimengerti dan mengenal perkara-perkara yang wajib untuk dijauhi. Jika telah terkumpul pada seseorang dua perkara tersebut, maka ia telah mewujudkan keimanan pada dirinya secara sempurna dan memisahkan diri dari apa-apa yang mengganggu berupa syubhat-syubhat ahli bid’ah dan terlepas dari jerat-jerat setan. Sehingga keimanannya seperti apa yang dikabarkan oleh Alloh -ta’ala- mengenai keimanan Kholilur-rohman (Ibrohim -‘alaihis-salam-) ketika berkata:
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“(Ibrohim berkata): “Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku ketika beribadah hanya kepada Alloh -Dialah Robb yang menciptakan langit dan bumi- dengan cenderung kepada tauhid dan menjauhi syirik dan aku bukanlah termasuk kaum musyrikin (orang-orang yang mempersekutukan-Nya dengan selain-Nya dalam peribadatan).” (Tafsir Muyassar QS. Al-An’am: 79)
Alloh -ta’ala- memuji beliau dengan sifat ini; yaitu pengetahuan beliau terhadap kesempurnaan sifat-sifat Alloh dan menjauhkan dirinya dari sesembahan selain-Nya. Alloh -ta’ala- menjuluki beliau sebagai al-kholil, dikarenakan sifat hanif yang terdapat pada beliau; yaitu menjauhnya beliau dari peribadahan kepada selain Alloh dan melepaskan diri dari jerat-jerat setan serta jalan-jalan yang menyimpang.
Dari sini dipahami akan wajibnya mengenal dan membedakan antara al-haq dan al-bathil. Siapa yang belum mengenal akan sifat-sifat kebatilan yang wajib untuk dijauhi, maka dia belumlah bisa mengenal dengan baik sifat-sifat al-haq yang wajib ia pegang teguh.
Dahulu para sahabat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bertanya kepada beliau tentang al-haq demi kebenaran aqidah mereka dan juga menanyakan tentang kejelekan dan kebatilan agar bisa menjauhinya. Hudzaifah bin Al-Yaman -rodhiyallohu ‘anhu- berkata: “Orang-orang menanyakan tentang kebaikan kepada Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, sedangkan aku menanyakan kepada beliau tentang kejelekan lantaran takut akan menimpaku.” (lihat Shohih Al-Bukhoriy dan Muslim)
Hal ini beliau lakukan agar dapat menghindari dan menjauhi kejelekan itu, karena siapa yang tidak mengetahuinya dengan baik, dikhawatirkan akan terjatuh kepadanya, sebagaimana kata seorang penyair:
عرفت الشر لا للشر لكن لتوقيه * ومن لا يعرف الشر من الناس يقع فيه
“Aku mengenal kejelekan bukan semata-mata karenanya, akan tetapi untuk menghindarinya. Siapa yang tidak mengenal kejelekan manusia, maka ia akan terjatuh padanya.”
Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah menjelaskan bahwa umat ini telah banyak disusupi oleh para pengikut hawa nafsu dan kebid’ahan yang memecah-belah dan menghancurkan keimanan mereka. Maka wajib bagi seorang muslim untuk mengenal ciri-ciri dan keadaan mereka sampai dapat menjauhkan diri dari mereka dan dapat menjaga kemurnian aqidahnya dari kebid’ahan dan ajaran-ajaran sesat yang ada.
Sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-:
لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر ولا يبقى في النار من كان في قلبه مثقال ذرة من الإيمان
“Tidak akan masuk jannah orang yang dalam hatinya terdapat sebiji dzarroh (sedikit) kesombongan (kesyirikan) dan tidak akan tetap tinggal di neraka orang yang dalam hatinya terdapat sebiji dzarroh (sedikit) dari keimanan.” (HR. Ibnu Majah dari Ibnu Mas’ud -rodhiyallohu ‘anhu-, dishohihkan oleh Al-Albaniy dalam Shohih Ibnu Majah dan tahqiq Ishlahul Masajid, no. 115)
Sebiji dzarroh (sedikit) keimanan tersebut hanyalah didapatkan dengan memiliki aqidah yang benar dan selamat dari seluruh kotoran bid’ah dan penyimpangan serta macam-macam kekufuran. Siapa yang belum jelas baginya sifat-sifat kebid’ahan dan para pengikutnya, maka belumlah terwujud pada dirinya hakekat keimanan yang suci. Sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tersebut adalah jujur dan janjinya adalah benar akan terjadi dan beliaulah yang telah mengabarkan akan terjadinya kelompok-kelompok sesat dalam tubuh kaum muslimin tanpa bisa dipungkiri lagi. (At-Tabshir fid-Dien, hal. 13-16)
Sasaran mempelajari kelompok-kelompok sempalan
Mempelajari firqoh-firqoh (kelompok-kelompok sempalan) dalam Islam bukan berarti menunjukkan sikap setuju, bergembira dengannya atau dalam rangka menjatuhkan yang lainnya. Akan tetapi -bersamaan dengan kesedihan dan duka cita yang mendalam akan perpecahan yang terjadi-, hal itu hanyalah untuk mencapai maksud-maksud yang baik untuk Islam dan menumpulkan ketajaman perselisihan yang telah mencerai-beraikan kaum muslimin dan memecah mereka menjadi kelompok-kelompok dan golongan-golongan. Demikian juga untuk mencapai sasaran persatuan kalimat mereka dan mengarahkan pandangan mereka kepada titik-titik perselisihan (khilaf) yang ada agar terhindar dari apa yang telah dialami oleh umat terdahulu berupa kebinasaan karenanya. Hal itu karena sesungguhnya kembali kepada al-haq itu lebih baik daripada terus-menerus berada dalam kebatilan. Ini merupakan salah satu bentuk pengobatan -disertai dengan kesungguhan tekad dan kesucian niat- terhadap perkara yang menyedihkan yang telah melanda kaum muslimin itu serta merupakan sebab kesembuhan -dengan ijin Alloh-, karena mengetahui pengobatan yang baik itu bergantung pula pada pengetahuan terhadap jenis penyakit yang akan diobati.
Sasaran-sasaran atau tujuan yang ingin diraih tersebut banyak sekali, diantaranya adalah:
1- Mengingatkan kaum muslimin akan kemulian, kejayaan dan kekuatan para salaf mereka (salafush-sholeh) ketika berada dalam persatuan dan kesatuan barisan.
2- Mengalihkan pandangan mereka kepada keadaan sekarang ini, sejauh mana akibat yang dialami berupa kerugian yang disebabkan oleh perpecahan yang ada.
3- Sebagai bimbingan kepada umat Islam menuju persatuan sesama mereka. Hal itu dengan memusatkannya pada penjelasan akan tercelanya perpecahan itu dan dampak-dampak buruknya. Sebaliknya menjelaskan akan baiknya persatuan kalimat kaum muslimin dalam satu jalan.
4- Memahamkan kaum muslimin akan sebab-sebab perselisihan yang telah mencerai-beraikan mereka sejak dahulu agar bisa dihindari setelah dipelajari, disertai dengan tekad yang bulat dan niat yang jujur.
5- Mengenal perkara-perkara yang merusak aqidah Islam yang bertentangan dengan hakekat Islam dan terjauh dari jalannya yang terang.
6- Mengawasi gerakan-gerakan kelompok-kelompok sempalan tersebut dan pemikiran-pemikiran mereka yang menyimpang dari jalan yang lurus, guna membongkar upaya mereka untuk memecah persatuan umat Islam dengan cara memberitahukannya kepada manusia dan memperingatkan mereka tentang hakekat perkara-perkara mereka agar dijauhi serta penjelasan tentang bentuk-bentuk upaya mereka untuk melariskan pemikiran mereka tersebut. Hal itu karena tidaklah setiap bencana yang telah terjadi pada zaman sebelumnya, melainkan terdapat pula pengaruhnya pada zaman sekarang dengan sangat jelas. Sudah menjadi sunnatulloh bahwa setiap kaum itu pasti mempunyai pewaris harta peninggalannya.
7- Dengan demikian, akan tetap nampaklah golongan yang selamat (al-firqotun-najiyah) itu sebagai tanda atau rambu petunjuk umat agar terhindar dari hal-hal yang merusak aqidah mereka.
Kemudian mempelajari firqoh-firqoh yang ada itu -meskipun seolah-olah kelihatannya seperti penggalian peninggalan zaman dahulu- dimaksudkan pula -di belakang itu semua- untuk menyeru para ulama Islam untuk bangkit dalam mempelajari, meneliti dan menampakkan al-haq dari itu semua dan menjauhkan diri dari segala yang mengeluarkan kaum muslimin dari aqidah mereka yang benar atau memecah-belah kalimat mereka. Ini merupakan salah satu cara terbaik untuk menegur dan memberitahu para pengikut golongan-golongan tersebut agar bersikap adil dan mencari kebenaran berdasarkan penyimpangan mereka yang bersumber dari kitab-kitab dan ucapan para pemimpin mereka guna mematahkan seluruh argumentasi yang menyimpang setelah itu.
Menolak syubhat orang-orang yang enggan untuk mempelajarinya
Banyak dari kaum muslimin merasa enggan untuk mempelajari dan mengenal firqoh-firqoh sempalan yang ada dan menyebarkan syubhat atau keraguan di kalangan kaum muslimin, baik dengan niat yang baik ataupun jahat.
Syubhat yang mereka dengung-dengungkan tersebut diantaranya adalah: “Mengapa kita masih saja menyibukkan diri dengan menelaah dan mempelajari kelompok-kelompok yang telah punah dan sirna itu, bahkan tidak pernah disebut-sebut orang lagi… Para ulama, baik yang dahulu maupun belakangan sudah membantahnya dan perkaranya telah selesai?!”
Maka jawaban dari syubhat ini, bahwa pada pertanyaan ini telah terkumpul di dalamnya pemutar-balikan fakta secara tersamar disertai dengan niat jahat atau kebodohan yang mengerikan, karena:
Pertama: firqoh-firqoh ini, meskipun telah lama kemunculannya dan telah mati para pendirinya, akan tetapi yang terlihat adalah adanya pengaruh pemikiran mereka di zaman kita sekarang. Pemikiran tersebut terus diwariskan secara turun-temurun dan tersebar di kalangan kaum muslimin dengan cepat bagaikan wabah penyakit yang menular. Sebagai contoh: kelompok Mu’tazilah, bukankah pemikiran mereka masih hidup dengan kuat sampai sekarang. Mereka mengagungkan akal dan menjadikannya sebagai pedoman -bahkan sebagai Rosul- dalam memutuskan atau menghukumi segala sesuatu dan mensifati orang-orang yang tidak berpijak pada akal tersebut sebagai orang yang kuno dan terbelakang! Sebenarnya mereka ingin keluar dari manhaj Islami, akan tetapi mereka tidaklah berani untuk berterus terang. Sehingga mereka bersembunyi di balik pengagungan akal sebagai sarana terbaik untuk melariskan paham dan meraih tujuan mereka.
Kedua: telah dimaklumi, bahwa seluruh pemikiran tersebut memiliki pengikut yang menyerukan dan mendakwahkannya kepada manusia. Telah nampak dampak buruk dari dakwah kepada pemahaman mereka di kalangan masyarakat muslim, seperti sikap penentangan terhadap pemerintah muslimin, melampaui batas dalam beragama, menghalalkan darah kaum muslimin walaupun dengan selemah-lemah syubhat, pengkafiran terhadap seorang muslim walaupun dengan sekecil-kecil dosa dan lain sebagainya. Hal ini semua dianggap oleh orang-orang yang dangkal ilmu dan pengetahuannya terhadap agama yang lurus -sehingga mudah tertipu- sebagai jalan agama yang benar!
Demikian pula paham Shufiyah, telah banyak mempengaruhi kaum muslimin, baik dari kalangan awam maupun intelektual. Sehingga mereka menyerukannya dengan kejahilan, khurofat-khurofat, mengikuti dan berpedoman dengan mimpi-mimpi, kedatangan arwah orang yang telah mati, mengaku mengetahui perkara gaib, pengagungan terhadap seseorang yang dianggap wali serta melampaui batas di dalamnya dan sebagainya.
Oleh karena itu, pembahasan mengenai firqoh-firqoh sesat itu meskipun nampaknya merupakan pembahasan perkara yang telah lampau dalam perjalanan sejarah umat Islam, akan tetapi sebenarnya juga merupakan pembahasan masa kini yang menyingkap asal-usul bencana yang menimpa kaum muslimin, mencerai-beraikan dan melemahkan kekuatan mereka. Bahkan hal ini adalah seberkas cahaya terang yang menerangi jalan para pemuda kaum muslimin di tengah-tengah kegelapan pemikiran yang pekat, dengan bimbingan akan keberadaan kelompok-kelompok yang beraksi di kegelapan tersebut untuk menyebarkan pemikiran dan mewujudkan rencana-rencana jahat mereka terhadap Islam dan kaum muslimin.
Ketiga: sesungguhnya dengan mempelajari kelompok-kelompok sempalan dan menyerukan kepada persatuan kalimat kaum muslimin tersebut merupakan upaya untuk memperbanyak jumlah al-firqotun-najiyah (golongan yang selamat) dengan menarik kembali dan mengembalikan orang-orang yang telah menyimpang dari jalan yang lurus kepada al-haq. Sehingga menjadi banyaklah jumlah ahlussunnah dan terus menang serta termasuk dalam apa yang diberitakan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam sebuah hadits:
لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتي أمر الله وهم كذلك
“Senantiasa ada segolongan umatku yang nampak di atas al-haq, tidak merugikan mereka orang-orang yang menelantarkan mereka sampai datangnya keputusan Alloh (hari kiamat) dan mereka tetap berada di atasnya.” (HR. Muslim dari Tsauban -rodhiyallohu ‘anhu-)
Sebaliknya, dengan meninggalkan untuk mempelajari hal tersebut, akan terlewatkan dari kita kebaikan yang besar.
Keempat: membiarkan umat tanpa adanya dakwah untuk berpegang teguh dengan ajaran agama yang benar dan tanpa penjelasan akan kerusakan dan bahaya kelompok-kelompok sesat yang menyimpang adalah bertentangan dengan kewajiban syariat untuk beramar ma’ruf nahi mungkar. Hal itu karena kelompok-kelompok sempalan yang bermunculan tersebut tidaklah tertegak, melainkan di atas kemungkaran yang banyak, akan tetapi merasa dirinya paling benar dan yang lainnya berada di atas kesesatan tanpa dalil, sehingga mereka mencampur-adukkan antara kebatilan dengan kebenaran. Menghiasi kejahatan dan keluarnya mereka dari manhaj Al-Kitab dan As-Sunnah dengan baju-baju gemerlapan untuk melariskan kebid’ahan mereka dan menyeru umat kepada hal tersebut.
Kelima: tidak adanya upaya untuk mempelajari keadaan kelompok kelompok sesat dan membantah pemikiran-pemikiran mereka yang bertentangan dengan al-haq tersebut dapat membuka kesempatan bagi para ahli bida’ untuk melakukan apa yang mereka inginkan. Mereka akan berdakwah kepada kebid’ahan dan khurofat dengan bebas tanpa adanya penghalang sedikitpun sebagaimana kenyataan yang ada. Banyak dari kalangan pelajar agama (sudah ngaji) -terlebih lagi awam kaum muslimin- tidak memahami akan keberadaan firqoh-firqoh yang telah merebak dan menyebarkan kebatilan siang-malam tersebut. Mungkin juga ini merupakan hasil dari gerakan-gerakan tersamar mereka yang jahat, sehingga banyak kita temui buah pemikiran ataupun bahasa-bahasa mereka banyak disebut-sebut dan didengung-dengungkan oleh kebanyakan kaum muslimin tanpa menyadari bahwa hal itu bersumber dari kelompok-kelompok sesat tersebut, baik dari kelompok Mu’tazilah, Shufiyah, Syi’ah, Khowarij dan sebagainya yang semua itu sebabnya kembali kepada kejahilan umat Islam akan pemikiran-pemikiran mereka. (Mausu’atul Firoq: 1/2-4)
Inilah beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan fenomena perpecahan umat Islam sebagai suatu muqoddimah terhadap pembahasan-pembahasan di masa mendatang, sehingga kita bisa mengerti dan memahami mengapa Ahlussunnah wal jama’ah senantiasa membicarakan masalah ini di setiap kesempatan yang ada dan tidak merasa fobi dan antipati akan hal tersebut.
Wallohu ta’ala a’lam, wa billahit-taufiq wal hidayah, walhamdulillahi Robbil ‘alamin.
Ditulis: Mushlih Abu Sholeh Al Madiuniy -waffaqohulloh- (rev. 26 Dzulhijjah 1435)
Sumber:
-At Tafsir Al Muyassar, oleh kumpulan ulama tafsir Saudi Arabia dengan prakarsa Syaikh Sholih Alu Syaikh -waffaqohulloh-, cet. 2 Darul 'Alamiyah th. 1430H.
-At-Tabshir fid-Dien wa Tamyiz Al-Firqotin-Najiyah ‘anil-Fiqoq Al-Halikah, karya Abul Mudzoffar Thohir bin Muhammad Al-Isfiroyiniy (wafat 471H) -rohimahulloh-; cet. ‘Alamul Kutub Lebanon th. 1403H.
-Mausu’ah Al-Firoq Al-Muntasibah lil-Islam, prakarsa Syaikh ‘Alawiy bin Abdul Qodir As-Saqqof -waffaqohulloh-; naskah Maktabah Asy-Syamilah seri 3,47 th. 1433H.
lembaran-lembaran ilmiah • وما توفيقي إلا بالله • mushlihabusholeh.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar