بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نستعينه ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد:
Ketahuilah -rohimakumulloh-, bahwa berdoa kepada Alloh ta'ala itu termasuk ibadah yang diperintahkan. Firman Alloh ta'ala:
ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺭَﺑُّﻜُﻢُ ﺍﺩْﻋُﻮﻧِﻲ ﺃَﺳْﺘَﺠِﺐْ ﻟَﻜُﻢْ ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺴْﺘَﻜْﺒِﺮُﻭﻥَ ﻋَﻦْ ﻋِﺒَﺎﺩَﺗِﻲ ﺳَﻴَﺪْﺧُﻠُﻮﻥَ ﺟَﻬَﻨَّﻢَ ﺩَﺍﺧِﺮِﻳﻦ
"Robb kalian mengatakan: "Berdoalah kepada-Ku semata dan khususkanlah ibadah itu untuk-Ku, niscaya akan Aku kabulkan untuk kalian. Orang-orang yang berlaku sombong dari mengesakan-Ku dalam peribadatan, maka mereka akan memasuki Jahannam dalam keadaan hina." (Tafsir Muyassar QS. Ghofir: 60)
Maka jika hal itu termasuk ibadah, maka ia harus sesuai dengan dalil-dalil syar'i yang shohih, baik dalam jenis, macam, ukuran, tata-cara, waktu, tempat maupun sebabnya. (Majmu' Fatawa Ibnu 'Utsaimin, jilid 13)
Masalah hukum mengangkat kedua tangan ketika berdo’a, maka di dalamnya terdapat beberapa perincian:
Pertama: Bahwa hal itu merupakan perkara yang diingkari, yaitu ketika telah datang penjelasan dari As-Sunnah yang menunjukkan tidak adanya mengangkat kedua tangan ketika berdo’a.
Hal itu seperti pada do’a ketika berkhutbah, selain khutbah sholat istisqo’ (minta hujan) dan istisha’ (minta dihentikannya hujan dan dialihkan ke tempat lain yang tidak membahayakan).
Dari ‘Umaroh bin Ruwaibah -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Muslim, bahwasanya ia melihat Bisyr bin Marwan berada di atas mimbar Jum’at mengangkat kedua tangannya ketika berdo’a. Maka ia berkata:
قَبَّحَ اللهُ هَاتَيْنِ الْيَدَيْنِ، لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ بِيَدِهِ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ الْمُسَبِّحَةِ
“Semoga Alloh memburukkan kedua tangan itu! Sungguh aku telah melihat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-berdo’a (ketika berkhutbah). Tidaklah beliau melakukannya (yaitu mengangkat kedua tangannya), kecuali hanya dengan mengangkat jari telunjuk saja demikian.” Lalu ia mengisyaratkan dengan jari telunjuknya.
Juga hadits Sahl bin Sa’d -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Ahmad dan Abu Dawud, bahwasanya ia mengatakan:
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاهِرًا يَدَيْهِ قَطُّ يَدْعُو عَلَى مِنْبَرٍ وَلَا غَيْرِهِ، مَا كَانَ يَدْعُو إِلَّا يَضَعُ يَدَهُ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ، وَيُشِيرُ بِإِصْبُعِهِ إِشَارَةً
“Tidaklah pernah aku melihat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menengadahkan kedua tangannya sama sekali ketika berdo’a di atas mimbar atau yang selainnya. Tidaklah beliau berdo’a, kecuali hanyalah dengan mengangkat tangannya setinggi bahu dan mengisyaratkan dengan jari telunjuknya.”
Hadits ini terdapat sedikit kelemahan dalam sanadnya, tetapi diperkuat dengan riwayat Muslim dari hadits ‘Umaroh tersebut di atas.
Setelah menyebutkan dua hadits ini, maka Imam Asy-Syaukani -rohimahulloh- mengatakan dalam kitabnya Nailul Author (2/555): “Dua hadits tersebut menunjukkan dibencinya mengangkat tangan ketika berdo’a di atas mimbar dan hal itu termasuk kebid’ahan.” (Ahkamul Jum’ah, hal. 206)
Kedua: Hal itu merupakan perkara yang terpuji dan disyariatkan berdasarkan dalil-dalil shohih yang ada.
Hal ini seperti berdo’a ketika melakukan wukuf di ‘Arofah, pada saat menaiki Shofa dan Marwah, istisqo' (minta hujan), saat qunut nazilah dan sebagainya yang telah datang dalilnya dari As-Sunnah yang shohih.
Tidak diragukan lagi bahwa hal itu adalah terpuji dan termasuk dalam sunnah Rosul -shollallohu ‘alaihi wa sallam-.
Ketiga: Apa yang nampak dari As Sunnah bahwa di situ tidak mengangkat tangan, seperti doa di antara dua sujud, pada akhir tasyahhud, doa istiftah, doa antara adzan dan iqomah, demikian juga istighfar setelah salam.
Secara dzohir bahwasanya Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidak mengangkat kedua tangannya. Akan tetapi jika seseorang mengangkat kedua tangannya ketika itu, maka tidaklah dikatakan bahwa dia telah melakukan kebid’ahan.
Ketiga macam perincian di atas hukumnya jelas, karena dalil-dalil yang ada bersifat khusus.
Keempat: Adapun selain itu, maka asal dalam doa adalah disunnahkan dengan mengangkat kedua tangan. Hal itu karena mengangkat tangan ketika doa tersebut termasuk adab-adab berdoa dan juga menjadi sebab terkabulnya doa, karena sikap itu menampakkan permohonan seorang hamba yang sangat kepada Alloh ta'ala, sebagaimana hal itu diisyaratkan dalam hadits Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Muslim yang di dalamnya disebutkan:
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ، يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ، يَا رَبِّ، يَا رَبِّ …
“Kemudian Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-menyebutkan seseorang dalam safar (perjalanan jauh) yang panjang, berpenampilan kusut dan kusam sedang menengadahkan kedua tangannya sambil berdo’a: “Ya Robb, ya Robb…”
Demikian juga pada hadits Salman Al-Farisi -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Abu Daud dan Tirmidzi dan dishohihkan oleh Al-’Allamah Al-Albaniy -rohimahulloh-:
إِنَّ الله حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ
“Sesungguhnya Alloh itu pemalu dan Karim. Merasa malu jika seseorang menengadahkan kedua tangannya kepada-Nya, kemudian kembali dalam keadaan hampa (tidak mengabulkannya).”
Pada hadits-hadits ini terdapat isyarat bahwa asal dalam berdo’a adalah dengan mengangkat kedua tangan. (Majmu' Al Fatawa Ibnu Utsaimin, jilid 13)
Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa jika do’a itu bersifat ibtihal, yaitu dengan melakukan ilhah (meratap) dan karena hajah yang sangat, seperti do’a ketika dalam keadaan genting dan bahaya, maka dengan mengangkat kedua tangan, sebagaimana Rosululloh -shollallohu 'alaihi wa sallam- mengangkat tangan beliau dalam perang Badar. Akan tetapi jika tidak demikian, maka tidak dengan mengangkat kedua tangan, seperti pada doa-doa secara mutlak lainnya. (Fathul Mu'in, hal. 429-430)
Wallohu ta'ala a'lam bish showab.
Ditulis: Mushlih bin Syahid Abu Sholeh Al-Madiuniy -ro'ahulloh- (Malam 9 Dzulhijjah 1435H)
Maroji':
- Tafsir Muyassar, oleh kumpulan ulama tafsir Saudi, pengantar Syaikh Sholeh Alu As Syaikh, Majma' Malik Fahd, cet. 2.
- Ahkamul Jum'ah wa Bida'uha, oleh Syaikh Yahya bin Ali Al Hajuriy -hafidhohulloh-, cet. Dar Imam Ahmad, Mesir.
- Fathul Mu'in fit Ta'liq 'Ala Iqtidho' Ash Shirothil Mustaqim, oleh Al 'Allamah Ibnu 'Utsaimin -rohimahulloh-, cet. Maktabah Al-Anshor, Mesir.
- Majmu' Al Fatawa Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, jilid 13.
- Syudzurot wa Fawaid min Awailid Durus Al 'Ammah, oleh Syaikh Yahya Al Hajuriy, kumpulan (ba'), Darul Hadits Dammaj.
lembaran-lembaran ilmiah • وما توفيقي إلا بالله • mushlihabusholeh.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar