PERANAN PENTING "AS-SUNNAH" DI SISI AL-QURAN



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين، نحمده ونستعينه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أما بعد

Pembaca sekalian -barokallohu fiikum-, pada postingan kali ini akan dibahas sedikit gambaran akan pentingnya peranan as-sunnah an-nabawiyyah (sunnah Nabi) di sisi Al Quranul Karim. Semoga Alloh memberkahinya sehingga bermanfaat bagi kita semua...

Sesungguhnya Alloh -tabaroka wa ta’ala- telah memilih Muhammad -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sebagai Nabi-Nya dan mengkhususkan beliau untuk mengemban risalah ilahiyyah. Alloh ta'ala juga menurunkan kepada beliau kitab-Nya yang mulia dan memerintahkan beliau untuk menerangkannya kepada manusia. Alloh -ta’ala- berfirman:

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ

“Kami telah turunkan kepadamu -wahai Rosul- Al-Quran, agar engkau menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka berupa makna-makna dan hukum-hukumnya, supaya mereka memikirkannya dan dengannya mereka mendapat petunjuk (hidayah).” (QS. An-Nahl: 44)

Ayat yang mulia ini mengandung dua macam keterangan yang dituntut untuk disampaikan kepada manusia:

Pertama: keterangan tentang lafadz dan susunan kalimat dalam Al-Quran. Yaitu penyampaian Al-Quran secara lengkap tanpa menyembunyikannya sedikitpun serta membacakannya kepada umat manusia sebagaimana diturunkan. Inilah maksud dari firman Alloh -ta’ala-:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ

“Wahai rosul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu (wahyu) dari Robb-mu.” (QS. Al-Maidah: 67)

‘Aisyah -rodhiyallohu ‘anha- mengatakan:

ومن حدثكم أن محمدا كتم شيئا أمر بتبليغه فقد أعظم على الله الفرية

“Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa Muhammad telah menyembunyikan suatu perkara yang diperintahkan untuk disampaikan, maka dia telah melakukan kebohongan yang besar terhadap Alloh.” Kemudian beliau -rodhiyallohu ‘anha- membaca ayat tersebut di atas. (HR. Bukhori dan Muslim)

Dalam riwayat Muslim beliau -rodhiyallohu ‘anha- mengatakan:

لو كان رسول الله – صلى الله عليه وآله وسلم – كاتما شيئا أمر بتبليغه لكتم قوله تعالى:

“Sekiranya Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah menyembunyikan suatu perkara yang diperintahkan untuk disampaikannya, niscaya beliau akan menyembunyikan ayat ini (karena berisi teguran Alloh kepada beliau):

وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ الله عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ الله وَتُخْفِي في نَفْسِكَ مَا الله مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَالله أَحَقُّ أَن تَخْشَاهُ

“Ingatlah, ketika engkau -wahai Nabi- berkata kepada orang yang Alloh telah melimpahkan nikmat Islam kepadanya (yaitu Zaid bin Haritsah, yang telah Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam merdekakan dan dijadikannya sebagai anak angkat) dan engkau juga telah memberi kenikmatan kepadanya dengan memerdekakannya: “Tahanlah terus isterimu (Zainab binti Jahsy), janganlah kau mentalaknya dan bertakwalah kamu -wahai Zaid- kepada Alloh!” Sedangkan kamu -wahai Nabi- menyembunyikan di dalam hatimu apa yang telah Alloh wahyukan kepadamu tentang talak Zaid dan pernikahanmu dengan Zainab setelah ditalaknya. Alloh ta'ala akan menampakkan apa yang engkau sembunyikan itu.  Kamu takut kepada manusia (kaum munafikin), bahwa mereka akan mengatakan, "Muhammad mengawini bekas istri anak angkatnya." Sedangkan Alloh-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti...” (QS. Al-Ahzab: 37)

Kedua: keterangan tentang makna lafadz, kalimat ataupun ayat yang diperlukan oleh umat. Hal itu pada ayat-ayat yang sifatnya global, umum ataupun mutlak yang kemudian datanglah sabda-sabda Rosul -shollallohu 'alaihi wa sallam-, perbuatan-perbuatan serta persetujuan beliau (As-Sunnah) sebagai penjelas maksud sebenarnya yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut. (Manzilatus Sunnah Fil Islam, hal. 6-8)

Beberapa contoh penerapan As Sunnah dalam memahami Al Quran

Pertama: Firman Alloh -ta’ala- dalam ayat tayammum, merupakan contoh yang tepat guna menunjukkan fungsi penting As-Sunnah di samping Al-Quran:

فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ

"Kemudian kalian tidak mendapatkan air untuk bersuci, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik lagi suci; usaplah muka dan tangan-tangan kalian.” (QS. An-Nisa’: 43)

Maka As-Sunnah menjelaskan tentang tangan yang diusap dalam ayat tersebut, bahwasanya yang dimaksud hanyalah dua telapak tangan dan tidak seluruhnya. Hal ini berdasarkan sabda beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam-:

التيمم ضربة للوجه والكفين

“Tayammum itu dengan sekali tepukan (ke tanah) untuk mengusap wajah dan dua telapak tangan.” (HR. Bukhori dan Muslim dari hadits ‘Ammar bin Yasir -rodhiyallohu ‘anhuma-)

Jikalau tidak datang penjelasan dari As-Sunnah, niscaya kita akan beranggapan bahwa yang diusap adalah seluruh bagian tangan, semata-mata berdasarkan dhohir ayat tersebut.

Contoh lain yang menunjukkan bahwa tidaklah mungkin bisa memahami maksud Al-Quran kalamulloh dengan benar, kecuali dengan jalan penerapan As-Sunnah adalah sebagai berikut:

Kedua: Firman Alloh -ta’ala-:

الَّذِينَ آمَنُواْ وَلَمْ يَلْبِسُواْ إِيمَانَهُم بِظُلْمٍ أُوْلَئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُم مُّهْتَدُون

“Orang-orang yang beriman kepada Alloh dan Rosul-Nya dan tidak mencampur-adukkan iman mereka dengan kedzoliman, mereka itulah yang mendapat ketenangan dan keselamatan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk kepada jalan yang benar.” (QS. Al-An’am: 82)

Para sahabat dahulu memahami makna kedzoliman pada ayat ini adalah secara umum, mencakup segala bentuk kedzoliman meskipun sekecil apapun. Oleh karena itu, mereka menanyakan ayat tersebut dan mengatakan: “Wahai Rosululloh, siapakah di antara kami yang tidak mencampur keimanannya dengan kadzoliman?!” Maka beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

ليس بذلك إنما هو الشرك ألا تسمعوا إلى قول لقمان: إن الشرك لظلم عظيم؟

“Bukan itu maksudnya. Yang dimaksud kedholiman dalam ayat ini hanyalah kesyirikan. Bukankah kalian telah mendengar perkataan Luqman (QS. Luqman: 13): “Sesungguhnya kesyirikan itu adalah sebesar-besar dan seburuk-buruk kedzoliman.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Pada contoh ini dapat kita lihat, bahwa para sahabat -rodhiyallohu ‘anhum- yang keadaan mereka itu sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud -rodhiyallohu ‘anhu-: “Mereka adalah seutama-utama umat ini, baik dalam kebaikan hati, kedalaman ilmu dan paling tidak memberatkan diri sendiri,” telah salah memahami ayat tersebut. Kalaulah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidak memperbaiki kesalahan dan membimbing mereka kepada makna kedzoliman yang benar yaitu kesyirikan, niscaya kita juga akan mengikuti kesalahan mereka. Akan tetapi Alloh -tabaroka wa ta’ala- telah menghindarkan kita dari kesalahan tersebut dengan bimbingan dan sunnah Rosul-Nya -shollallohu ‘alaihi wa sallam-.

Ketiga: Firman Alloh -ta’ala-:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ في الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ

“Apabila kalian -wahai kaum mukminin- bepergian jauh di muka bumi Alloh (safar), maka tidaklah apa-apa kalian men-qoshor sholat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir ketika melakukan sholat.” (QS. An-Nisa’: 101)

Yang nampak dari ayat ini, bahwa mengqoshor sholat dalam safar (bepergian jauh) itu disyaratkan ketika merasa takut diserang orang-orang kafir. Oleh karena itulah, para sahabat bertanya kepada Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-: “Untuk apa kita sekarang mengqoshor sholat, padahal kita sudah merasa aman?” Maka beliau bersabda:

صدقة تصدق الله بها عليكم فاقبلوا صدقته

“Itu adalah shodaqoh dari Alloh kepada kalian, maka terimalah shodaqoh itu.” (HR. Muslim)

Kalaulah bukan karena hadits ini dan amalan beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dengan mengqoshor sholat dalam safar ketika aman, maka kita akan terus merasa ragu tentang disyariatkannya mengqoshor sholat dalam safar tersebut pada keadaan aman, sebagaimana yang dipertanyakan oleh para sahabat tersebut.

Keempat: Firman Alloh -ta’ala-:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ

“Diharamkan bagi kalian memakan bangkai dan darah…” (QS. Al-Maidah: 3)

Maka As-Sunnah menerangkan bahwa bangkai belalang dan ikan serta hati dan limpa hukumnya halal, dikecualikan dari keumuman ayat tersebut. Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda dari hadits Ibnu Umar -rodhiyallohu ‘anhuma-:

أحلت لنا ميتتان ودمان: الجراد والحوت والكبد والطحال

“Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah: belalang dan ikan serta hati dan limpa.” (HR. Baihaqiy)

Yang shohih bahwa riwayat ini adalah dari perkataan Ibnu Umar -rodhiyallohu 'anhuma- (mauquf), akan tetapi mengandung hukum marfu’ (dari Nabi), sehingga dapat dijadikan sebagai hujjah dan dalil. Hal itu karena perkara tersebut -yaitu masalah penghalalan dan pengharoman- tidaklah didapatkan semata-mata dari akal pikiran beliau (Ibnu Umar) semata, akan tetapi bimbingan dari Nabi -shollallohu 'alaihi wa sallam-.

Kalaulah bukan karena hadits tersebut, niscaya kita akan mengharamkan apa yang halal dan baik bagi kita, yaitu: bangkai belalang dan ikan serta hati dan limpa.

Kelima: Firman Alloh -ta’ala-:

قُل لاَّ أَجِدُ في مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَن يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ بِهِ

“Katakanlah -wahai Rosul-: “Tiadalah aku temukan dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai (tanpa disembelih) atau darah yang mengalir atau daging babi -karena sesungguhnya itu najis- atau binatang yang disembelih dalam rangka keluar dari ketaatan kepada Alloh sebagaimana jika disembelih atas nama selain Alloh.” (QS. Al-An’am: 145)

Kemudian datanglah As-Sunnah mengharamkan apa yang belum disebutkan dalam ayat ini, seperti sabda Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-:

كل ذي ناب من السباع وكل ذي مخلب من الطير حرام

“Diharamkan setiap hewan buas bertaring (untuk memangsa) dan setiap burung yang bercakar (untuk mencengkeram mangsanya).”

Juga sabda beliau pada perang Khoibar:

إن الله ورسوله ينهيانكم عن الحمر الإنسية فإنها رجس

“Sesungguhnya Alloh dan Rosul-Nya melarang kalian untuk memakan keledai jinak, karena itu adalah najis.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Demikian juga pada contoh ini, kalaulah bukan karena hadits tersebut, maka kita akan tetap memakan apa yang telah diharamkan oleh syariat: hewan buas yang bertaring dan burung yang bercakar tajam untuk memangsa buruannya.

Keenam: Firman Alloh –ta’ala-:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللهِ الَّتِيَ أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالْطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ

“Katakanlah -wahai Rosul- kepada orang-orang bodoh dari kalangan kaum musyrikin itu: “Siapakah yang mengharamkan atas kalian pakaian bagus yang Alloh ta'ala telah menjadikannya sebagai perhiasan bagi kalian dan siapa pulakah yang mengharamkan atas kalian untuk menikmati rezki Alloh yang halal lagi baik?!” (QS. Al-A'rof: 32)

Maka As-Sunnah menerangkan bahwasanya diantara macam perhiasan tersebut ada yang diharamkan, sebagaimana yang telah shohih dari beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bahwa suatu hari beliau keluar menemui para sahabat sambil memegang kain sutra dan emas. Maka beliau bersabda:

هذان حرام على ذكور أمتي حل لإناثهم

“Dua perhiasan ini haram bagi laki-laki umatku, halal bagi perempuan mereka.” (HR. Hakim dan beliau menshohihkannya)

Demikian juga pada contoh ini, jikalau tidak datang kepada kita keterangan dari As-Sunnah, maka kita akan menghalalkan apa yang sebenarnya haram bagi kita.

Inilah diantara contoh yang menggambarkan tentang pentingnya As-Sunnah tersebut dalam syariat Islam dan masih banyak lagi contoh-contoh semisal yang telah diterangkan oleh para ulama hadits dan fiqih dalam kitab-kitab dan fatawa mereka.

Dari apa yang telah lalu, maka jelaslah bagi kita akan pentingnya As-Sunnah dalam syariat Islam. Maka tidak ada jalan lain untuk memahami Al-Quran Al-Karim dengan sebenarnya, kecuali diiringi dengan As-Sunnah yang shohihah.
Sungguh sangat disayangkan, telah ditemukan sebagian orang yang menafsiri Al-Quran dan sebagian penulis masa kini yang berpendapat akan halalnya memakan binatang buas tersebut, memakai emas dan kain sutra bagi laki-laki dengan berpegang kepada Al-Quran saja! Bahkan ada kelompok yang menamakan dirinya Al-Qur’aniyun. Mereka menafsirkan Al-Quran dengan hawa nafsu dan akal-akal mereka tanpa merujuk kepada As-Sunnah yang shohihah. As-Sunnah tersebut menurut mereka hanyalah dijadikan sebagai pemuas hawa hafsu; yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, maka diterima dan sebaliknya jika tidak sesuai, maka dilemparkan ke belakang punggung-punggung mereka!
Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah mengisyaratkan akan adanya kelompok ini dalam sabdanya yang shohih:

لا ألفين أحدكم متكئا على أريكته يأتيه الأمر من أمري مما أمرت به أو نهيت عنه فيقول: لا أدري ما وجدنا في كتاب الله اتبعناه

“Sungguh tidaklah aku temui salah seorang di antara kalian sedang bertelekan di atas ranjangnya. Ketika datang kepadanya perkaraku dari apa yang kuperintahkan dan larang, maka dia mengatakan: “Aku tidak tahu, apa yang kutemukan pada kitab Alloh, maka aku ikuti (dan yang tidak, maka tidak)!” (HR. Tirmidzi)

Dalam riwayat lainnya ia mengatakan:

ما وجدنا فيه حراماً حرمناه ألا وإني أتيت القرآن ومثله

“Apa yang kutemui di dalamnya (Al-Quran) bahwa hukumnya haram, maka aku haramkan (dan yang tidak, maka tidak)!”

Lalu beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menegaskan:

“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Quran dan yang semisalnya (As-Sunnah) bersamanya.”

Dalam riwayat lain beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

ألا إن ما حرم رسول الله مثل ما حرم الله

“Ketahuilah, sungguh apa yang diharamkan oleh Rosululloh itu seperti apa yang telah Alloh haramkan.”

Juga termasuk perkara yang disayangkan adalah ada sebagian penulis tentang syariat dan aqidah Islam menyebutkan pada mukaddimah kitabnya, bahwa tidaklah dia menggunakan rujukan dalam tulisannya, kecuali Al-Quran saja!

Maka hadits yang shohih mengandung dalil yang pasti bahwa syariat Islam itu bukanlah Al-Quran saja, tetapi Al-Quran dan As-Sunnah yang shohihah. Siapa yang hanya berpegang pada salah satunya, berarti sama sekali dia belum berpegang dengan salah satunya. Hal itu karena keduanya telah memerintahkan kita untuk berpegang teguh dengan Al-Quran dan As-Sunnah, sebagaimana firman Alloh -ta’ala:

مَّنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ

“Siapa yang mentaati Rosul -shollallohu 'alaihi wa sallam- itu dan mengamalkan petunjuknya, maka sesungguhnya ia telah mentaati Alloh ta'ala dan perintah-Nya.” (QS. An-Nisa: 80)

Firman Alloh juga:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّىَ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُواْ في أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيمًا

"Alloh ta'ala bersumpah atas nama diri-Nya yang mulia, "Demi Robbmu," bahwa mereka pada hakekatnya tidaklah beriman hingga mereka menjadikan kamu (Rosul) sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan dan berhukum kepada sunnahmu sepeninggalmu, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65)

Firman Alloh ta'ala:

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى الله وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَن يَعْصِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُّبِينًا

“Tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan mereka selisihi dengan memilih selain ketetapannya tentang urusan mereka. Siapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

Firman Alloh -ta’ala-:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا

“Apa yang diberikan Rosul kepada kalian, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Berkaitan dengan ayat ini, maka telah shohih dari Ibnu Mas’ud -rodhiyallohu ‘anhu- bahwasanya Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

لَعَنَ اللهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ، وَالنَّامِصَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ، وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللهِ

“Alloh melaknat perempuan-perempuan pembuat tatto secara permanen dan perempuan yang minta ditatto, perempuan-perempuan yang mencabut bulu di wajahnya dan yang minta dicabut bulu di wajahnya, perempuan-perempuan yang merenggangkan gigi-giginya supaya kelihatan bagus dan perempuan-perempuan yang merubah ciptaan Alloh.”

Setelah mendengar hal itu, maka seorang perempuan datang kepadanya seraya mengatakan: “Kamukah yang mengatakan: “Alloh melaknat perempuan yang membuat tatto secara permanen dan yang meminta untuk ditatto…” Maka Ibnu Mas’ud menjawab: “Benar.” Perempuan itu berkata: “Sungguh aku sudah membaca kitab Alloh dari awal sampai akhir, tidaklah kutemukan apa yang kau katakana itu.” Maka Ibnu Mas’ud menjawab: “Jika engkau telah membacanya, maka pasti telah kau temukan hal itu. Bukankah engkau telah membaca ayat:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa yang diberikan Rosul kepada kalian, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah?”

Maka perempuan itu berkata: “Benar.” Kemudian Ibnu Mas’ud mengabarkan: “Sungguh aku telah mendengar Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda demikian. (HR. Bukhori dan Muslim) (Manzilatus Sunnah Fil Islam, hal. 7-12)

Walhamdulillahi Robbil 'alamin.

Ditulis: Mushlih Abu Sholeh Al Madiuniy -'afallohu 'anhu-
(Rabu, 24 Dzulqo'dah 1435)

Sumber:
Manzilatus Sunnah Fil Islam, karya Imam Al-Albaniy -rohimahulloh-, hal. 6-12 sebagaimana dalam Mausu’ah Al-Albaniy fil Aqidah: 1/281-287.






























lembaran-lembaran ilmiah • وما توفيقي إلا بالله • mushlihabusholeh.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar