TAKBIRAN DI HARI RAYA KURBAN



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله وحده وصدق وعده ونصر جنده وأهزم الأحزاب وحده، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أما بعد

Pada hari raya 'Idul Adhha dan hari-hari tasyriq, disunnahkan pula untuk bertakbir sebagaimana pada 'Idul Fithri berdasarkan ijma' (kesepakatan) para ulama. Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan: "Tidak ada khilaf diantara para ulama rohimahumulloh, bahwa takbir itu disyariatkan pada 'ied an nahr ('Iedul Adhha)." (Al Mughni: 2/245)

Alloh ta'ala berfirman:

ﻭَﺍﺫْﻛُﺮُﻭﺍْ ﺍﻟﻠّﻪَ ﻓِﻲ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﻣَّﻌْﺪُﻭﺩَﺍﺕ

"Berdzikirlah kepada Alloh dengan bertasbih dan bertakbir pada beberapa hari, yaitu hari-hari tasyriq (11-13 Dzulhijjah)." (Tafsir Muyassar QS. Al Baqoroh: 203)

Imam Bukhori rohimahulloh memberikan sebuah bab dalam Shohihnya: "Bab Takbir Pada Hari-Hari Mina dan Jika Beranjak Menuju 'Arofah. Dahulu Umar rodhiyallohu 'anhu bertakbir di kubahnya di Mina. Maka didengarlah oleh orang-orang yang di masjid, lalu mereka juga ikut bertakbir. Demikian juga orang-orang yang di pasar, sehingga bergemuruhlah Mina dengan suara-suara takbir. Dahulu Ibnu Umar rodhiyallohu 'anhuma bertakbir di Mina pada hari-hari tersebut dan setelah sholat-sholat lima waktu serta di atas tempat tidur, kemah, majelis dan ketika beliau berjalan pada hari-hari itu semuanya. Dahulu Maimunah rodhiyallohu 'anha bertakbir pada hari raya kurban. Dahulu para wanita juga bertakbir di belakang Aban bin Utsman dan Umar bin Abdul 'Aziz rohimahumulloh pada malam-malam hari tasyriq bersama para laki-laki di masjid." (lihat Fathul Bari: 2/535)

Dengan demikian, maka bertakbir pada ‘Iedul Addha ini hukumnya sunnah mu’akkadah menurut jumhur ulama, karena Alloh ta’ala telah memerintahkannya dalam ayat di atas yang hal itu merupakan syiar Islam yang patut untuk disemarakkan.

Waktu takbir

Pendapat yang terkuat mengenai waktu takbir adalah apa yang dipilih oleh jumhur ulama, yaitu dimulai dari shubuh hari 'Arofah sampai ashar pada akhir hari-hari tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah). Ini adalah pendapat Umar bin Khotthob, Ali bin Abi Tholib, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, Jabir bin Abdillah, Ammar bin Yasir rodhiyallohu 'anhum, Az Zuhri, Makhul, Sufyan Ats Tsauri, Ahmad bin Hambal, Abu Tsaur rohimahumulloh. Ibnu Qudamah rohimahulloh menyatakan bahwa ini adalah ijma' shohabat. Al Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh menyatakan bahwa tidak ada riwayat shohih dari Nabi shollallohu 'alaihi wa sallam tentang hal itu, akan tetapi telah shohih dari para shohabat, seperti 'Ali dan Ibnu Mas'ud. (Fathul Bari: 2/462)

Pendapat ini juga dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh dengan mengatakan bahwa ini adalah pendapat jumhur salaf dan fuqoha' dari kalangan shohabat dan para imam madzhab. (Majmu' Fatawa: 24/220)

Mengeraskan takbir

Disyariatkan pula mengeraskan takbir ketika berangkat menuju musholla (lapangan) tempat diselenggarakannya sholat ‘ied, sebagaimana ditunjukkan oleh atsar shohih dari Ibnu Umar rodhiyallohu 'anhuma. (Irwa'ul Gholil: 3/153)

Kemudian takbir tersebut berlangsung di lapangan sholat ‘ied sampai didirikannya sholat ‘Ied dengan mengeraskan suaranya bagi laki-laki, baik di masjid, rumah-rumah, pasar-pasar dan di jalan-jalan serta di seluruh tempat yang diperbolehkan padanya dzikir kepada Alloh ta’ala.

Adapun para wanita, maka tidak mengeraskan suaranya untuk menghindari timbulnya fitnah yang disebabkan oleh kelembutan suara mereka.

Ummu ‘Athiyah rodhiyallohu ‘anha berkata:

كُنَّا نُؤْمَرُ بِالْخُرُوجِ فِي الْعِيدَيْنِ، وَالْمُخَبَّأَةُ، وَالْبِكْرُ. قَالَتْ: الْحُيَّضُ يَخْرُجْنَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ، يُكَبِّرْنَ مَعَ النَّاسِ

“Kami (para wanita) dahulu diperintahkan untuk keluar (ke lapangan sholat ‘ied) pada dua hari raya (‘Iedul Fithri dan Adhha). Demikian juga para perawan dan wanita pingitan. Para wanita yang sedang haid pun keluar dan berada di belakang manusia, semuanya ikut bertakbir bersama dengan manusia.” (HR. Bukhori: 971, Muslim: 890)

Hikmah disyariatkannya takbir

Syaikhul Islam rohimahulloh mengatakan bahwa bertakbir secara syar'i untuk menolak para musuh, baik syaithon dari kalangan manusia maupun jin serta disyariatkan ketika menghadapi perkara-perkara besar yang menimpanya. Dengan bertakbir, maka hal itu menunjukkan kebesaran Alloh ta'ala di atas perkara-perkara yang besar lainnya, sehingga agama ini semuanya hanyalah milik Alloh dan seluruh hamba membesarkan-Nya. Dengan demikian terwujudlah dua maksud, yang pertama adalah ibadah dengan takbir tersebut dan yang kedua adalah dalam rangka memohon pertolongan-Nya  dalam menghadapi seluruh perkara besar. Kesimpulannya bahwa takbir tersebut disyariatkan pada setiap perkara yang besar, baik berkaitan dengan tempat, zaman dan keadaan. (Majmu' Fatawa: 24/229-230)

Macam-macam takbir

Takbiran pada 'Idul Adhha dan hari-hari tasyriq dibagi menjadi dua macam:

Pertama: takbir mutlak atau takbir mursal, yaitu tidak ditentukan waktu dan tempatnya secara khusus, tetapi didengungkan di setiap tempat, baik di masjid-masjid, rumah-rumah maupun jalan-jalan dan sebagainya serta di setiap waktu, baik siang maupun malam.

Kedua: takbir muqoyyad, yaitu pada setiap selesai sholat lima waktu, setelah membaca dzikir-dzikir yang disunnahkan untuk dibaca setiap selesai sholat. (Syarhul Mumti': 5/216)

Pembagian takbir ini ditunjukkan oleh ijma' ulama dan perbuatan para shohabat. (Fatwa Lajnah Da'imah: 8/412, no. 10777)

Kalimat takbir

Mengenai kalimat takbir, maka pendapat yang benar adalah tidak adanya riwayat yang shohih tentang hal itu dari Rosululloh shollallohu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi diperbolehkan dengan seluruh kalimat yang mengandung takbir sebagaimana yang diriwayatkan dari para shahabat, seperti kalimat-kalimat berikut:

الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، الله أكبر ولله الحمد

“Allohu akbar, Allohu akbar, laa ilaaha illallohu, Allohu akbar, wa lillaahil-hamd." (riwayat shohih dari ‘Ali dan Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhuma)

الله أكبر، الله أكبر، الله أكبر كبيرا

“Allohu akbar, Allohu akbar, Allohu akbar kabiiro.” (riwayat shohih dari Salman Al-Farisiy rodhiyallohu ‘anhu)

الله أكبر، الله أكبر كبيرا، الله أكبر كبيرا، الله أكبر وأجل، الله أكبر ولله الحمد

“Allohu akbar, Allohu akbar kabiiro, Allohu akbar kabiiro, Allohu akbar wa ajal, Allohu akbar wa lillahil-hamd.” (riwayat shohih dari Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma)

Setiap orang dipersilahkan untuk memilih salah satu dari kalimat-kalimat takbir dari para salaf tersebut atau mengucapkan semuanya, terkadang kalimat ini dan terkadang itu.

Sama-sama bertakbir, bukan takbir bersama-sama

Adapun mengenai hukum takbir secara berjama’ah dengan satu suara (jama’i), maka itu tidaklah disyariatkan dan termasuk kebid’ahan. Hal ini karena tidak ada tuntunan yang shohih dari Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau, sehingga amalan itu tertolak. Terlebih lagi, jika hal itu diiringi dengan suara tabuh-tabuhan dan arak-arakan, maka keadaannya bertambah semakin memburuk, yang itu termasuk sikap berlebih-lebihan (ghuluw) dalam agama ini, wallohul musta’an. Akan tetapi, hendaknya setiap orang mengeraskan suara takbirnya masing-masing tanpa menyengaja untuk menyatukannya dengan yang lainnya. (Fatwa Ibnu Bazz dalam kitab Thoharoh wa Sholah: 2/219 dan Al-Lajnah Ad-Da’imah: 8/311)

Sederhana dalam sunnah itu lebih baik daripada berlebihan dalam kebid’ahan dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk para salafussholeh ridhwanulloh 'alaihim ajma'in.

وَبِاللَّهِ التَّوفِيقُ وَالسَّدَادُ وَالْحَمدُ لِلَّهِ الذِّي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ


Ditulis: Mushlih Abu Sholeh Al Madiuniy -waffaqohulloh- (11 Dzulhijjah 1435 H)

Maroji':
- Fathul ‘Allam fii Dirosati Ahadits Bulughil Marom, oleh Syaikh Ibnu Hizam: 2/192-193,196-197; cet. Darul 'Ashimah.
- Al-Jami’ li-Ahkamil ‘Idain, oleh Syaikh Zayid Al Wushobi,  hal. 284; cet. Maktabah 'Ibadurrohman.
- Sholatul ‘Idain, hal. 16; terbitan Wizaroh Al-Auqof Saudi Arabia.
- At Takbir fii Iedil Adhha wa Ayyamit Tasyriq, oleh Ro'fat Al Hamid Al 'Adani.









lembaran-lembaran ilmiah • وما توفيقي إلا بالله • mushlihabusholeh.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar