Ahlan wa sahlan

PENTINGNYA MEMAHAMI MACAM-MACAM SUNNAH NABI



بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلله فلن تجد له وليا مرشدا، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أما بعد

Sebagaimana telah diketahui, bahwasanya As-Sunnah yang dijadikan sebagai salah satu sumber hukum Islam itu adalah apa yang telah shohih dari Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, baik berupa perkataan atau sabda (qoul), perbuatan (fi'il), persetujuan (taqrir) beliau. Maka pada kesempatan kali ini, akan diperjelas lebih lanjut mengenai tiga macam perincian as sunnah tersebut dengan memohon pertolongan Alloh ta'ala dan taufiq-Nya semata.

Sunnah qouliyah (sabda Nabi)

Adapun ucapan atau perkataan (sabda) beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, maka telah banyak kita temukan. Hal itu mencakup seluruh berita-berita kenabian, baik yang berkaitan dengan nama-nama dan sifat Alloh -ta’ala-, malaikat, nabi-nabi, kejadian-kejadian yang telah lalu maupun yang akan datang, perkara-perkara hari kiamat, berita-berita ghoib dan perkara-perkara keimanan lainnya yang semua itu wajib kita benarkan dan imani. Juga ucapan beliau tersebut mencakup perintah-perintah untuk ditaati dan larangan-larangan untuk ditinggalkan dan dijauhi, baik yang bersifat umum maupun khusus dan global maupun terperinci.

Pada asalnya, perintah beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tersebut hukumnya adalah wajib untuk dikerjakan selama tidak ada dalil lain yang memalingkan kewajiban tersebut kepada hukum lainnya. Adapun larangan beliau, maka pada asalnya adalah haram untuk dikerjakan, kecuali ada dalil lain yang memalingkan dari hukum asal tersebut. Alloh -ta’ala- berfirman:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rosululloh itu merasa takut akan ditimpa cobaan dan kejelekan atau ditimpa azab yang pedih di akherat.” (QS. An-Nur: 63)

Firman Alloh:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا

“Apa yang diberikan Rosul kepada kalian berupa harta atau apa yang telah disyariatkannya, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagi kalian untuk diambil atau dilakukan, maka tinggalkanlah.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dari hadits Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Bukhori dan Muslim:

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ، فَاجْتَنِبُوهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Apa yang telah kularang kalian darinya, maka jauhilah dan apa yang telah kuperintahkan, maka lakukanlah semampu kalian.”

Contoh perintah beliau yang wajib untuk dikerjakan diantaranya adalah mandi ketika masuk Islam, sebagaimana sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dari Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu- pada kisah masuk Islamnya Tsumamah bin Utsal -rodhiyallohu 'anhu-. Maka Nabi memerintahkannya untuk mandi. (HR. Abdurrozzaq dengan sanad shohih)

Contoh perintah beliau yang mustahab (tidak wajib) diantaranya adalah bersiwak setiap kali berwudhu, sebagaimana sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dari Abu Huroiroh -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Ahmad (shohih):

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ وُضُوءٍ

“Kalaulah tidak memberatkan umatku, niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu’.”

Contoh larangan beliau yang haram dikerjakan diantaranya adalah berangan-angan untuk bertemu musuh. Sabda Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam hadits Abdulloh bin Abi Aufa -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Bukhori dan Muslim:

لاَ تَتَمَنَّوْا لِقَاءَ العَدُوِّ، وَسَلُوا الله العَافِيَةَ

“Janganlah kalian berangan-angan untuk bertemu musuh, mintalah kepada Alloh keselamatan.”

Contoh larangan beliau yang makruh untuk dikerjakan diantaranya adalah menyentuh mushhaf Al-Quran tanpa berwudhu’, sebagaimana sabda beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam surat beliau kepada ‘Amr bin Hazm -rodhiyallohu ‘anhu- (riwayat Malik dan selainnya, hadits hasan):

أَنْ لاَ يَمَسَّ الْقُرَآنَ إِلاَّ طَاهِرٌ

“Tidak boleh menyentuh Al-Quran, kecuali dalam keadaan suci.”

Larangan ini hukumnya makruh, karena terdapat dalil lain yang memalingkan dari hukum asal suatu larangan (harom) kepada selainnya, yaitu bahwa Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda dalam hadits Ibnu ‘Abbas -rodhiyallohu ‘anhuma- riwayat Ahmad (shohih):

إِنَّمَا أُمِرْتُ بِالْوُضُوءِ إِذَا قُمْتُ إِلَى الصَّلاةِ

“Aku hanyalah diperintahkan untuk berwudhu, jika aku akan mendirikan sholat.”

Sunnah fi'liyyah (perbuatan Nabi)

Adapun perbuatan-perbuatan Rosul -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, maka termasuk pula bagian dari As-Sunnah An-Nabawiyah yang merupakan sumber hukum syariat Islam. Perbuatan-perbuatan beliau tersebut terbagi menjadi beberapa bagian dan setiap bagian mempunyai hukum tersendiri:

Pertama: Apa yang dinamakan dengan sunnah jibilliyah, yaitu apa yang biasa dilakukan oleh manusia sesuai dengan tabiatnya, seperti: makan, minum, tidur dan sebagainya. Maka hal ini tidak mempunyai hukum secara sendirinya, karena tidak berhubungan dengan perintah dan larangan. Akan tetapi terkadang dituntut untuk melakukannya dengan tata cara tertentu, sehingga termasuk perkara yang dianjurkan atau diperintahkan untuk dilakukan dengan tata cara tersebut dan sebaliknya terkadang terdapat perkara tertentu dari hal itu yang terlarang dan tidak sepantasnya dilakukan.

Sebagai contoh: perbuatan tidur. Pada asalnya merupakan perkara tabiat yang tidak mengandung hukum, baik itu wajib maupun mustahab (sunnah). Akan tetapi dianjurkan (disunnahkan) untuk miring ke kanan dan didahului dengan membaca dzikir-dzikir sebelum tidur, sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh hadits Al-Baro’ bin ‘Azib -rodhiyallohu ‘anhu- dalam Shohih Bukhori dan Muslim.

Contoh kedua: makan dan minum, termasuk kebutuhan semua manusia secara tabiatnya. Akan tetapi diwajibkan dalam perbuatan makan ini dengan menggunakan tangan kanan dan membaca bismillah sebelumnya dan dilarang dengan menggunakan tangan kiri, sebagaimana sabda beliau dalam hadits Umar bin Abi Salamah -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Bukhori dan Muslim:

يَا غُلاَمُ، سَمِّ الله، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ

“Wahai bocah, sebutlah nama Alloh (bismillah), makanlah dengan tangan kananmu dan mulailah dengan makanan yang dekat denganmu!”

Juga hadits Salamah bin Akwa’ -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Muslim, dia mengatakan: “Ada seseorang yang makan dengan tangan kirinya di depan Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau mengatakan:

كُلْ بِيَمِينِكَ، قَالَ: لَا أَسْتَطِيعُ، قَالَ: لَا اسْتَطَعْتَ، مَا مَنَعَهُ إِلَّا الْكِبْرُ، قَالَ: فَمَا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ

“Makanlah dengan tangan kananmu!” Orang itu berkata: “Aku tidak bisa.” Lalu beliau mengatakan: "Kamu tidak akan bisa!” Tidaklah ada yang menghalanginya untuk makan dengan tangan kanannya, melainkan kesombongannya. Maka setelah itu orang itu tidak bisa lagi mengangkat tangannya ke mulutnya lagi.”

Demikian juga dianjurkan untuk membaca hamdalah selesai makan dan minum serta tidak bernafas atau meniup dalam gelas atau tempat makanan dan minuman tersebut, sebagaimana dalam hadits-hadits yang shohih. Ini semua merupakan perkara yang tertuntut di dalamnya.

Terkadang beberapa macam makanan dan minuman yang asalnya halal, menjadi terlarang dikonsumsi oleh sebagian manusia, karena hal itu bisa membahayakan jiwanya. Contohnya adalah gula-gula atau makanan yang manis-manis bagi penderita penyakit gula. Maka secara syariat makanan tersebut menjadi haram baginya. Oleh karena itu, Syaikhul Islam -rohimahulloh- mengatakan: “Makanan yang asalnya hukumnya mubah (boleh), akan menjadi haram jika membahayakan diri seseorang.” (Lihat Ikhtiyarot Fiqhiyyah, oleh Al-Ba’liy, hal. 351). Sebaliknya makan atau minuman tersebut menjadi diwajibkan atau dianjurkan bagi seseorang jika menunjang kesehatannya atau jika ditinggalkan, akan menimbulkan penyakit dan sebagainya. Hal ini seperti makan sahur bagi orang yang akan berpuasa untuk menjaga kekuatan dan kesehatannya selama bepuasa.

Kedua: Perbuatan beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- yang dilakukan menurut adat-istiadat setempat. Maka ini hukumnya mubah (boleh dilakukan) secara sendirinya. Akan tetapi hukum asal ini bisa berubah menjadi sesuatu yang diperintahkan dan sebaliknya menjadi terlarang, karena sebab-sebab tertentu.

Sebagai contoh: berpakaian. Pada asalnya hukumnya mubah, tetapi diwajibkan untuk menutup aurotnya dan dianjurkan memilih yang berwarna putih (bagi laki-laki) sebagaimana dalam hadits shohih dari Ibnu Abbas -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Ahmad. Sebaliknya, dilarang berpakaian yang menyerupai adat orang-orang kafir (seperti celana pantalon, dasi dan sebagainya) atau terlalu panjang sampai menutup atau melebihi mata kaki (bagi laki-laki) sebagaimana dalam hadits shohih dari Abu Sa’id Al-Khudri -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Ahmad:

إِزْرَةُ الْمُؤْمَنِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ، فَمَا كَانَ إِلَى الْكَعْبِ فَلَا بَأْسَ، وَمَا كَانَ تَحْتَ الْكَعْبِ فَفِي النَّارِ

“Pakaian mukmin itu sampai setengah betis. Tidak apa-apa jika sampai kedua mata kaki. Adapun di bawah mata kaki (menutupi keduanya), maka di neraka.”

Merupakan suatu perkara yang harus diperhatikan mengenai hal ini adalah bahwa suatu adat istiadat yang haram, maka hukumnya haram pula dilakukan, meskipun ia telah tersebar dan sudah biasa dilakukan oleh kebanyakan manusia. Sesuatu yang haram itu tidak boleh dilakukan meskipun dengan alasan bahwa ini sudah merupakan adat atau kebiasaan manusia. Memang benar, bahwa agama Islam ini merupakan agama yang menyeluruh di setiap tempat dan sesuai dengan perkembangan zaman. Akan tetapi bukan berarti bahwa agama ini harus tunduk, diatur dan disesuaikan dengan tempat dan zaman tertentu. Ini adalah pemahaman yang keliru. Akan tetapi sebaliknya, agama ini mengatur kehidupan manusia di setiap waktu dan tempat yang itu merupakan kemaslahatan umat. Jika ada orang yang mengatakan: “Kaum muslimin sekarang sudah terbiasa dengan pakaian model ini (pakaian orang kafir), maka jadilah ia termasuk pakaian muslim, karena agama itu cocok untuk setiap waktu dan tempat..!” Subhanalloh…! Ucapan ini bagaikan sebuah kampak yang bisa menghancurkan agama ini! Bahkan mereka jadikan yang seperti ini sebagai ilmu dan tujuan agama! Ini jelas tidak benar. Hendaknya seorang muslim itu menjauhi perkara yang dilarang oleh syariat dan merasa cukup dengan apa yang sesuai dengan syariat. Wabillahi-taufiq.

Masalah: Apakah seseorang itu diberi pahala, jika meniru adat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, baik dalam berpakaian dan selainnya?
Jawaban: hendaknya kita ketahui, bahwa apa yang dilakukan oleh Rosul -shollallohu ‘alaihi wa sallam- secara adat, maka disunnahkan bagi kita untuk melakukannya pula sesuai dengan adat setempat kita, baik dalam berpakaian atau selainnya, selama adat setempat kita tersebut tidak bertentangan dengan syariat. Bukanlah yang dimaksud dengan sunnah tersebut adalah bentuk atau model pakaian itu sendiri misalnya, akan tetapi yang disunnahkan adalah jenis perbuatan yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rosul -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Adapun jika berniat ingin meniru adat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam model pakaian dan sebagainya -karena kecintaan kita kepada beliau-, maka diharapkan akan mendapat pahala karena niat baik tersebut.

Contohnya seperti memakai sarung, ‘imamah, gamis, rida’ dan sebagainya yang pernah dipakai oleh beliau. Hal ini perlu diamalkan, terutama di negeri yang pakaian adat masyarakat setempat bertentangan dengan syariat Islam, seperti pakaian yang menyerupai penampilan orang kafir, kurang menutup aurot atau telah datang dalil yang melarang untuk memakai pakaian tersebut. Maka kita tidak diperbolehkan untuk memakainya. Akan tetapi, yang dituntut adalah bahwa kita tetap memakai pakaian muslim itu untuk menampakkan syiar Islam serta sunnah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-.

Ketiga: Perbuatan yang khusus dilakukan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, tidak diperbolehkan bagi kita untuk melakukannya. Untuk menentukan jenis perbuatan ini, diperlukan adanya dalil yang jelas dan shohih menunjukkan bahwa hal itu merupakan kekhususan beliau. Hal itu karena asal dari perbuatan beliau adalah untuk ditiru dan diteladani, sebagaimana firman Alloh -ta’ala-:

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ الله أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو الله وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ الله كَثِيرًا

“Sesungguhnya telah ada pada diri Rosululloh, baik ucapan, perbuatan maupun keadaan beliau itu suri teladan yang baik bagi kalian -wahai kaum mukminin-, maka hendaknya kalian memegangi sunnahnya. Yaitu bagi siapa yang mengharap rahmat Alloh dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak berdzikir kepada Alloh, memohon ampunan-Nya dan selalu bersyukur kepada-Nya.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Berdasarkan ayat ini, maka berlakulah suatu kaedah hukum, bahwa asal dari perbuatan Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- itu adalah dalam rangka ibadah selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan bahwa hal itu sekedar adat-istiadat, tabiat manusia atau kekhususan beliau. Maka ketika ada dalil tentang kekhususan beliau, maka tidak diperkenankan bagi kita untuk melakukannya, walaupun dengan alasan ittiba’ (mengikuti) Rosul.

Contohnya adalah puasa wishol, yaitu menjamak (mengumpulkan) puasa dua hari atau lebih tanpa berbuka sama sekali. Puasa ini merupakan kekhususan beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan melarang para sahabat untuk melakukannya, sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar -rodhiyallohu ‘anhuma- dan selainnya dalam Shohih Bukhori dan Muslim:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، نَهَى عَنِ الْوِصَالِ، قَالُوا: إِنَّكَ تُوَاصِلُ، قَالَ: إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ إِنِّي أُطْعَمُ وَأُسْقَى

“Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- melarang untuk berpuasa wishol. Para sahabat berkata: “Sungguh engkau telah melakukannya?” Rosululloh menjawab: “Sesungguhnya aku ini tidak seperti kalian. Aku diberi makan dan minum (oleh Alloh).”

Contoh lain yang merupakan kekhususan beliau adalah nikah dengan hibah, yaitu seorang perempuan mendatangi beliau dan mengatakan: “Aku hibahkan diriku kepadamu.” Jika beliau menerima, maka secara langsung menjadi istri beliau tanpa mahar, wali, akad nikah dan saksi-saksi. Dalilnya adalah firman Alloh -ta’ala- ketika menyebutkan perkara-perkara yang dihalalkan Alloh untuk beliau, diantaranya:

وَامْرَأَةً مُؤْمِنَةً إِنْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلنَّبِيِّ إِنْ أَرَادَ النَّبِيُّ أَنْ يَسْتَنْكِحَهَا خَالِصَةً لَكَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ

“…dan perempuan mukmin yang menyerahkan (menghibahkan) dirinya kepada Nabi, jikalau Nabi mau menikahinya, sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.” (QS. Al-Ahzab: 50)

Jadi apa yang dikhususkan untuk Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidak berlaku bagi kita, tetapi hal itu menunjukkan kepada kita akan keutamaan dan kemuliaan yang dikaruniakan oleh Alloh kepada beliau dan menunjukkan kedudukan beliau yang tinggi di sisi Alloh -subhanahu wa ta’ala-.

Keempat: Perbuatan beliau yang dilakukan dalam rangka ibadah. Maka hal ini hukumnya wajib bagi beliau pada awalnya, karena kewajiban atas beliau untuk menyampaikan syariat, sebagaimana firman Alloh:

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ

“Wahai rosul, sampaikanlah wahyu yang telah diturunkan kepadamu dari Robbmu. Jika tidak kamu kerjakan apa yang diperintahkan itu, sehingga engkau sembunyikan sebagiannya, maka berarti kamu belumlah menyampaikan amanat risalah-Nya.” (QS. Al-Maidah: 67)

Setelah itu hukumnya menjadi mustahab (sunnah) bagi beliau dan umatnya, karena hal itu merupakan bentuk peribadatan. Sebagai contoh: bersiwak (menggosok gigi) ketika masuk rumah, sebagaimana dalam hadits Aisyah -rodhiyallohu ‘anha- dalam Shohih Muslim:

كَانَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ بَدَأَ بِالسِّوَاكِ

“Ketika memasuki rumah, beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- memulai dengan bersiwak.”

Maka bersiwak hukumnya mustahab (sunnah), karena beliau lakukan sebagai bentuk ibadah, sebagaimana sabda beliau dalam hadits Aisyah -rodhiyallohu ‘anha- riwayat Ahmad dan An-Nasa’i (hadits shohih):

السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ

“Siwak itu membersihkan mulut dan mendatang keridhoan Alloh.”

Kelima: Apa yang dilakukan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dalam rangka melaksanakan perintah Alloh -ta’ala-. Maka hukumnya adalah sesuai dengan hukum perintah Alloh tersebut, bisa wajib atau sunnah (mustahab).

Jika perbuatan tersebut dilakukan dalam rangka menjelaskan perintah Alloh yang sifatnya umum atau global, maka hukumnya adalah wajib atas beliau, karena suatu perintah tersebut tidak bisa diamalkan dengan baik dan benar kecuali dengan praktek beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Setelah itu, amalan tersebut bagi umatnya bisa menjadi wajib, jika hukum perintahnya wajib atau sunnah, jika hukumnya sunnah (mustahab).

Sebagai contoh adalah perintah sholat dan zakat yang wajib secara global, sebagaimana dalam firman Alloh -ta’ala-:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ

“Masuklah dalam Islam dengan mendirikan sholat dengan benar sebagaimana yang dituntunkan oleh Nabi dan menunaikan zakat wajib sesuai dengan apa yang disyariatkan.” (QS. Al-Baqoroh: 43)

Kita tidak mengetahui bagaimana perincian tata cara mendirikan sholat dan menunaikan zakat tersebut, kecuali setelah datang perinciannya dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, baik berupa ucapan ataupun perbuatan beliau.

Contoh lain adalah firman Alloh -ta’ala-:

وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى

“Jadikanlah sebagian maqom Ibrohim (yaitu batu tempat berdiri Nabi Ibrohim ketika membangun Ka’bah) sebagai tempat sholat.” (QS. Al-Baqoroh: 125)

Kita tidaklah mengetahui bagaimana cara mengamalkan ayat ini; apakah yang dimaksud mendirikan sholat lima waktu, atau yang lainnya? Berapa jumlah rakaatnya; apakah dua, tiga rakaat atau lebih? Kita tidak mengetahuinya. Akan tetapi Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- ketika menyelesaikan thowaf (tujuh putaran), langsung menuju maqom Ibrohim dengan membaca ayat tersebut, kemudian melakukan sholat sunnah dua rakaat ringan. Pada rakaat pertama membaca surat Al-Kafirun dan rakaat kedua membaca surat Al-Ikhlash, sebagaimana dalam hadits Jabir -rodhiyallohu ‘anhu- yang panjang riwayat Muslim yang berisi tentang manasik haji. (Syarh Ushul Min ‘Ilmil Ushul, bab Al-Akhbar; Syarh Mandzumah Ushul Fiqh, bab Aqsam Fi’il Nabi)

Sunnah tarkiyyah

Termasuk sunnah Nabi adalah apa yang diistilahkan dengan sunnah tarkiyyah, yaitu perkara-perkara yang ditinggalkan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan tidak dilakukannya.

Sunnah ini terbagi menjadi dua macam:

Pertama: Perkara-perkara yang ditinggalkan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dikarenakan tidak adanya hal-hal yang mendorong untuk dilakukannya hal tersebut pada zaman beliau. Maka meninggalkan yang seperti ini tidak termasuk sunnah dan jika dilakukan tidaklah dikatakan sebagai bid’ah. Contohnya adalah pembukuan Al-Quran menjadi sebuah mushaf seperti sekarang ini. Demikian juga penulisan kitab-kitab ilmu agama. (Al-Muwafaqot: 2/409)

Kedua: Perbuatan-perbuatan yang ditinggalkan oleh Rosul -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersamaan dengan adanya faktor pendorong untuk melakukannya. Meskipun demikian, beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tetap tidak melakukannya. Maka hal ini menunjukkan bahwa secara syariat perbuatan tersebut hendaknya ditinggalkan dan tidak dilakukan. Contohnya adalah adzan pada sholat ‘ied dan ketika menguburkan jenazah, melafadzkan niat dan sebagainya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh- telah menerangkan tentang masalah ini, bahwa adzan pada sholat ied tersebut termasuk perkara yang diada-adakan oleh beberapa penguasa dan telah diingkari oleh kaum muslimin, karena itu merupakan kebid’ahan. Kalaulah bukan karena itu, maka dikatakan bahwa hal ini termasuk berdzikir kepada Alloh dan anjuran kepada manusia untuk beribadah kepada Alloh, sehingga masuk dalam keumuman dalil-dalil seperti firman Alloh:

اذْكُرُوا الله ذِكْرًا كَثِيرًا

“Berdzikirlah yang banyak kepada Alloh dengan hati-hati, lisan dan anggota badan kalian.” (QS. Al-Ahzab: 41)

Juga masuk dalam firman-Nya:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى الله

“Tiada seorangpun yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada mengesakan Alloh dan ibadah kepada-Nya semata…?” (QS. Fushilat: 33)

Atau hal itu diqiyaskan dengan adzan sholat Jum’at, karena Jum’at termasuk hari ied (pekanan). Akan tetapi yang benar adalah dikatakan bahwa sikap Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dengan meninggalkannya bersamaan dengan adanya faktor pendorong dan tidak adanya suatu penghalang untuk dilakukannya hal itu, merupakan sunnah tarkiyyah untuk ditinggalkan, sebagaimana apa-apa yang beliau lakukan juga merupakan sunnah fi’liyyah untuk dikerjakan. Sunnah tarkiyyah ini merupakan sunnah tersendiri yang lebih dikedepankan daripada keumuman dalil-dalil atau qiyas.

Ketika beliau memerintahkan adzan dan iqomah pada sholat Jum’at dan bukan pada sholat ied, maka hal itu adalah sunnah beliau dan kita tidak berhak untuk menambahinya. Bahkan penambahan dalam hal itu seperti halnya menambah jumlah sholat atau rakaat sholat dan itu bukanlah termasuk amalan sholeh. Demikian juga tidak bisa dikatakan bahwa hal itu merupakan bid’ah hasanah. Akan tetapi dikatakan bahwa seluruh kebid’ahan itu adalah sesat, sebagaimana dalam keumuman hadits shohih dari Jabir -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Ahmad:

وَشَرَّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

“Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (dalam agama) dan setiap kebid’ahan itu sesat.”

Kita mengetahui hal itu sebelum datangnya larangan khusus akan hal tersebut atau ditemukannya mafsadah (kerusakan) di dalamnya.

Contoh lain, yaitu munculnya kebid’ahan disebabkan oleh keteledoran dan kesalahan manusia itu sendiri, seperti dikedepankannya khutbah ied sebelum sholatnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh sebagian penguasa dan telah diingkari oleh kaum muslimin. Mereka beralasan bahwa banyak manusia yang tidak mau mendengarkan khutbah ied, sehingga khutbah itu dikedepankan. Maka dikatakan kepadanya bahwa sebab keengganan manusia mendengarkan khutbah adalah keteledoran atau kesalahan penguasa (khotib) itu sendiri, karena Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dahulu berkhutbah untuk kemanfaatan dan bimbingan kepada manusia. Adapun si khotib tersebut berkhutbah dengan tujuan untuk melanggengkan kekuasaannya saja. Maka ini adalah kesalahan sendiri, tidak bisa dijadikan alasan untuk memunculkan kesalahan yang lain berupa kebid’ahan. Akan tetapi hendaknya ia bertaubat kepada Alloh dari kesalahannya dan mengikuti sunnah Nabi. Jika dengan hal itu belum juga menjadikan keadaan membaik, maka Alloh tidak akan menuntut pertanggungan jawab selain dari amalannya sendiri, bukan atas amalan mereka. Jika hal ini telah dipahami, maka akan hilanglah banyak syubhat seputar kebid’ahan yang ada. Wabillahit-taufiq.

Maka hendaknya kita juga meninggalkan perkara tersebut sebagaimana beliau meninggalkannya, meskipun dalam pandangan kita bahwa di dalamnya terdapat suatu kemaslahatan yang jelas atau termasuk dalam keumuman dalil-dalil yang ada (seperti yang telah dicontohkan di atas), karena hal itu tidak disyariatkan selama Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- meninggalkannya. (Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, hal. 279-281; Irsyadul Fuhul, hal. 42)

Dari sini berlaku sebuah kaedah, bahwa diamnya penentu syariat (Alloh dan Rosul-Nya) pada hukum tertentu atau meninggalkan suatu perkara bersamaan dengan adanya faktor pendorong dilakukannya hal tersebut pada waktu itu tanpa adanya tambahan syariat baru jika hal tersebut dilakukan, maka ia termasuk perkara bid’ah dalam agama yang tercela, bertentangan dengan maksud Alloh dan Rosul-Nya yaitu menuruti apa yang telah digariskan oleh keduanya tanpa menambahi atau mengurangi sedikitpun. (Al-I’tishom: 1/361)

Imam Al-Albaniy -rohimahulloh- mengatakan: “Termasuk ketetapan dari para ulama ahli tahqiq (mujtahid), bahwasanya setiap bentuk peribadatan yang tidak disyariatkan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan tidak pernah beliau lakukan dalam rangka ibadah, maka hal itu termasuk penyelisihan terhadap sunnah beliau. Hal itu karena sunnah beliau terbagi menjadi: sunnah fi’liyyah (perbuatan yang dilakukan) dan sunnah tarkiyah (sesuatu yang ditinggalkan). Apa yang ditinggalkan oleh beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- berupa perkara ibadah, maka disunnahkan atau disyariatkan bagi kita untuk meninggalkannya pula. Hal ini telah dipahami oleh para sahabat, sehingga banyak muncul peringatan terhadap kebid’ahan dari mereka, baik secara umum maupun khusus.

Sampai-sampai Hudzaifah bin Yaman -rodhiyallohu ‘anhu- berkata: “Setiap ibadah yang tidak diamalkan oleh para sahabat Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, maka janganlah kalian mengamalkannya!”

Ibnu Mas’ud -rodhiyallohu ‘anhu- berkata: “Ikutilah (sunnah Rosul) dan jangan berbuat kebid’ahan, maka hal itu cukuplah bagi kalian. Pegangilah perkara yang telah terdahulu!" (Hujjatun Nabi, hal. 100-101)

Imam Ibnul Qoyyim -rohimahulloh- berkata dalam I’lamul Muwaqqi’in (2/389-391):

"Pasal: Penukilan Sahabat Terhadap Perkara Yang Ditinggalkan Oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam-.
Adapun penukilan mereka tentang perkara yang ditinggalkan oleh Rosul -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, ada dua macam dan kedua-duanya disebut sebagai sunnah:

Pertama: pernyataan mereka secara jelas bahwa hal tersebut telah beliau tinggalkan dan tidak dilakukannya, seperti pada perang Uhud bahwasanya beliau tidak memandikan dan mensholati para syuhada’ Uhud. Demikian juga pada sholat ied, tidak ada adzan dan iqomah serta panggilan apapun. Juga ketika menjama’ dua sholat, beliau tidak melakukan sholat sunnah di antara keduanya dan tidak pula pada salah satu dari keduanya.

Kedua: tidak dinukilkan sama sekali perkara tersebut. Jikalau hal tersebut telah dilakukan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, maka tentunya akan mereka nukilkan dan akan sampai kepada kita (meskipun hanya dengan satu riwayat). Maka dengan tidak adanya penukilan mereka tersebut, menunjukkan bahwa hal itu belumlah terjadi. Hal ini seperti melafadzkan niat ketika akan mendirikan sholat. Demikian juga do’a secara berjama’ah yang dilakukan oleh imam dengan menghadapkan dirinya ke makmum dan mereka mengamininya setiap selesai sholat Shubuh, Ashar atau sholat lima waktu lainnya. Demikian juga mengangkat kedua tangan setiap selesai ruku’ pada rakaat kedua sholat shubuh dengan mengatakan: “Allohumahdina fiiman hadait…dst.,” dengan mengeraskannya dan diamini oleh makmum (qunut shubuh). Maka merupakan sesuatu yang mustahil bahwa beliau melakukannya dan tidak dinukilkan kepada kita sama sekali, padahal dilakukannya secara rutin setiap hari. Demikian juga mandi sebelum menginap di Muzdalifah, ketika hendak melempar jumroh, pada thowaf ziaroh (bagi jama’ah haji) serta sebelum sholat istisqo’ (minta hujan) dan kusuf (gerhana).

Dari sinilah, diketahui bahwa pendapat yang menganjurkan hal-hal tersebut telah menyelisihi As-Sunnah, karena perbuatan Rosululloh meninggalkan hal tersebut merupakan sunnah tarkiyyah sebagaimana perbuatan yang dilakukan oleh beliau adalah sunnah fi’liyyah. Jika kita menganjurkan (mensunnahkan) untuk melakukan perkara yang ditinggalkan oleh Rosul -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, maka ini sama seperti kita menganjurkan untuk meninggalkan sesuatu yang telah dilakukan oleh beliau, tidak ada bedanya sama sekali.

Jika ada yang mengatakan: “Darimana kalian mengetahui bahwa beliau tidak melakukannya. Tidak adanya penukilan tentang hal tersebut bukan berarti hal itu tidak ada?”

Ini adalah pertanyaan yang terlontar dari seseorang yang jauh sekali dari pengetahuan tentang petunjuk dan sunnah beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam-. Jika pertanyaan ini dibenarkan dan diterima, maka disunnahkan pula bagi kita untuk melakukan adzan sebelum sholat tarawih, lalu dikatakan: “Darimana kalian tahu kalau hal ini tidak dinukilkan?!” Demikian juga akan disunnahkan bagi kita untuk mandi pada setiap melakukan sholat, lalu dia mengatakan hal yang serupa: “Darimana kalian tahu kalau hal ini tidak dinukil?” Demikian juga seseorang yang lain akan menganjurkan kita untuk berseru setelah adzan: “Yarhamukumulloh!” Kemudian ia mengatakan: “Darimana kalian tahu kalau hal ini tidak ada?” Demikianlah seterusnya, sehingga terbukalah pintu kebid’ahan dan setiap yang menyerukan kepada kebid’ahan mengatakan: “Darimana kalian tahu kalau ini tidak dinukil…?!”

Maka termasuk kebid’ahan adalah: melakukan apa yang belum diizinkan oleh Alloh dan Rosul-Nya (dalam peribadatan) untuk mengamalkannya, seperti: sujud syukur di depan penguasa, do’a secara berjama’ah setiap selesai sholat dan sebagainya; atau: meninggalkan apa yang telah diizinkan untuk diamalkan dalam rangka ibadah, seperti: tidak mau berbicara ketika berpuasa, meninggalkan makanan tertentu dan sebagainya; atau: perkara yang keluar dari itu semua, seperti mewajibkan berpuasa dua bulan berturut-turut bagi orang yang mampu memerdekakan budak dan sebagainya. Yang terakhir ini telah jelas penyelisihannya terhadap dalil syar’i dan jelas merupakan bid'ah yang buruk. (Al-Muwafaqot: 2/410)

Akibat kejahilan manusia akan macam-macam sunnah Nabi

Sesungguhnya kejahilan manusia terhadap perkara pokok dan penting ini dapat menjatuhkan mereka ke dalam kebid’ahan. Lihatlah kepada kebid’ahan yang dilakukan oleh kebanyakan manusia sekarang, maka tampaklah bahwa hal itu termasuk kategori perkara yang telah ditinggalkan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersamaan dengan adanya keperluan untuk melakukannya di waktu itu.

Lihatlah ketika orang-orang suka melafadzkan niat ketika memulai sholat dengan mengucapkan: “Nawaitu an usholli …dst.,” padahal tidak pernah diketemukan satu riwayat pun yang shohih dari Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat beliau tentang hal itu. Yang ada hanyalah perintah Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana dalam hadits yang berisi kisah seseorang yang tidak baik sholatnya (hadits shohih dari Rifa’ah -rodhiyallohu ‘anhu- dan selainnya, riwayat ashhabus-sunan):

إذا قمت إلى الصلاة فكبر .. الخ

“Jika engkau berdiri memulai sholat, maka bertakbirlah (takbirotul ihrom) …dst.”

Beliau tidaklah mengajarkan: “Katakanlah: “Nawaitu an usholli…dst.” Jikalau hal itu disyariatkan, niscaya akan diajarkan pula oleh beliau kepada orang itu, karena beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- tidaklah menunda penjelasan apapun ketika diperlukan.

Demikian juga membaca Al-Quran Al-Karim di pekuburan sebagai bentuk rohmat kepada si mayit. Hal itu tidak dilakukan oleh Rosul -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sama sekali, bersamaan dengan adanya pendorong untuk itu dan tidak adanya penghalang apapun. Maka meninggalkannya termasuk sunnah dan sebaliknya, mengerjakannya adalah bid’ah tercela.

Apakah masuk akal jika Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- meninggalkan sesuatu yang bermanfaat serta mendatangkan rahmat bagi umatnya, padahal beliau bersifat amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin?! Demikian juga, apakah masuk akal kalau hal itu merupakan pintu dari pintu-pintu rahmat, kemudian ditinggalkan oleh Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- sepanjang hidup beliau?!

Demikian juga, peringatan maulid Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- telah ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh beliau dan juga para sahabat beliau yang mulia, bersamaan dengan adanya faktor pendorong untuk melakukannya. Hari itu telah berulang-ulang tiap tahun, tetapi tidak sekalipun beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- memperingatinya dan tidak pernah memerintahkan seorangpun dari para sahabat untuk memperingatinya, sebagaimana mereka telah diperintahlan untuk membaca sholawat Nabi. Maka hal ini menunjukkan bahwa acara peringatan tersebut tidaklah disyariatkan.

Kalaulah acara peringatan tersebut disyariatkan, maka para generasi teladan umat ini tentu telah mendahului kita untuk mengamalkannya, karena merekalah orang-orang yang lebih mencintai Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan lebih beradab terhadap beliau daripada orang-orang yang mengadakan peringatan maulid Nabi itu. Tidaklah bid’ah peringatan maulid Nabi ini muncul, kecuali setelah ratusan tahun belakangan (sekitar tahun 630 hijriyah). Sekarang yg menjadi pertanyaan adalah; dimanakah generasi teladan umat ini dan para ulama kaum muslimin sebelumnya?! Mengapa mereka tidak memperingatinya?!

Al-Hafidz Ibnu Rojab -rohimahulloh- berkata: “Adapun perkara yang para salaf (generasi pendahulu yang sholeh) telah bersepakat untuk meninggalkannya, maka tidak diperkenankan bagi kita untuk mengamalkannya, karena tidaklah mereka meninggalkannya, kecuali telah mengetahui bahwa perkara itu memang tidak untuk dikerjakan.” (Fadhlu ‘Ilmis-Salaf, hal. 31)

Kesimpulannya, tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk melakukan peribadatan yang tidak dilakukan oleh Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat beliau, sebagaimana ucapan Hudzaifah -rodhiyallohu ‘anhu- di atas yang maknanya adalah janganlah mendekatkan diri kepada Alloh -‘azza wa jalla- dengan hal itu, karena bukan ibadah yang dituntunkan sebagaimana yang disangkakan. Jikalau hal itu merupakan ibadah yang disyariatkan, niscaya beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- akan datang dengannya. (Fatawa Al-Albaniy, hal. 188; Ittiba’ Laa Ibtida’, hal. 64-72)

Sunnah taqririyyah

Yang dimaksud dengan taqrir (persetujuan) Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- di sini adalah diamnya beliau atau tidak adanya pengingkaran dan sebagainya yang menunjukkan persetujuan beliau ketika melihat atau mendengar para sahabat -rodhiyallohu ‘anhum- melakukan suatu perbuatan atau mengatakan sesuatu di hadapan beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam-.

Adapun taqrir atau persetujuan beliau terhadap sesuatu tersebut merupakan dalil akan bolehnya hal itu sesuai dengan sisi persetujuannya, baik berupa perbuatan atau ucapan, baik itu perkara yang wajib, mustahab ataupun mubah.

Contoh taqrir beliau terhadap suatu ucapan adalah taqrir beliau terhadap ucapan seorang budak perempuan yang pernah beliau tanyai: “Dimanakah Alloh?” Dia menjawab: “Di atas langit.” Hal ini sebagaimana dalam hadits Mu’awiyah bin Hakam As-Sullamiy -rodhiyallohu ‘anhu- riwayat Muslim, bahwasanya Rosululloh -shollallohu ‘alaihi wa sallam- menanyai seorang budak perempuan milik Mu’awiyah:

أَيْنَ الله؟ فَقَالَتْ: فِي السَّمَاءِ، قَالَ: مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ، قَالَ: أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ

“Dimanakah Alloh?” Dia menjawab: “Di atas langit.” Beliau bertanya lagi: “Siapa aku ini?” Dia menjawab: “Engkau adalah Rosululloh.” Maka beliau berkata kepada Mu’awiyyah: “Merdekakan dia, sesungguhnya ia seorang mukminah.”

Ini adalah dalil akan keyakinan bahwa Alloh itu di atas langit dan itu merupakan aqidah yang benar dan tidak diingkari.

Contoh taqrir beliau terhadap suatu perbuatan adalah ketika seseorang utusan beliau dalam berperang mengimami pasukannya dan selalu mengakhiri bacaannya dengan surat Al-Ikhlash. Hal ini sebagaimana dalam hadits Aisyah -rodhiyallohu ‘anha- riwayat Bukhori dan Muslim, bahwa ketika beliau mendengar hal tersebut, lalu berkata kepada para sahabat:

سَلُوهُ لِأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ؟، فَسَأَلُوهُ، فَقَالَ: لِأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ، وَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَخْبِرُوهُ أَنَّ الله يُحِبُّهُ

“Tanyakan kepadanya, mengapa ia lakukan itu?” Maka mereka bertanya kepadanya, lalu ia menjawab: “Karena dalam surat itu terdapat sifat Ar-Rohman dan aku suka membacanya.” Maka Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Kabarkanlah kepadanya bahwa Alloh mencintainya.”

Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut diperbolehkan baginya, karena jika tidak demikian, maka tentu beliau -shollallohu ‘alaihi wa sallam- akan melarangnya dan tidak menyetujuinya.

Faedah: Adapun perkara-perkara yang terjadi di zaman Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- (zaman turunnya wahyu) tanpa sepengetahuan beliau, maka tidaklah dikatakan sebagai sunnah beliau, karena hal itu tidak diucapkan, dikerjakan dan tidak pula disetujui oleh beliau. Akan tetapi hal itu merupakan hujjah (bisa dijadikan dalil), karena telah mendapatkan taqrir dari Alloh -subhanahu wa ta’ala- yang Dia itu adalah Al-’Aliim, maha mengetahui segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini.

Contohnya adalah pendalilan para sahabat akan bolehnya melakukan ‘azl, yaitu bahwasanya jika seseorang berjima’ (berhubungan intim) dengan istrinya dan hampir keluar air maninya, maka ia mencabut zakarnya supaya air mani tersebut tidak masuk dan keluar dari tempatnya yang semestinya. Hal ini dilakukan dengan ridho istrinya, untuk menghindari terjadinya kehamilan bagi yang belum menginginkan keturunan. Dalam Shohih Bukhori dan Muslim dari Jabir -rodhiyallohu ‘anhu-, dia berkata:

كُنَّا نَعْزِلُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالقُرْآنُ يَنْزِلُ

“Kami dahulu melakukan ‘azl pada zaman Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam- dan Al-Quran masih diturunkan (yaitu pada zaman turunnya wahyu).”

Hal ini menunjukkan bolehnya hal tersebut, karena jika tidak, niscaya akan turun wahyu untuk melarangnya. Alloh -ta’ala- tidaklah mungkin akan mendiamkan sesuatu yang tidak diridhoi-Nya dilakukan oleh hamba-Nya, karena Alloh adalah Al-Qodiir, maha berkuasa atas segala sesuatu termasuk pengingkaran terhadap perkara yang mungkar. (Syarh Ushul Min ‘Ilmil Ushul, hal. 350-358)

Demikianlah sekilas pembahasan tentang macam-macam As-Sunnah sebagai pedoman hukum Islam kedua setelah Al-Quran. Jika ada benarnya, maka itu dari Alloh -tabaroka wa ta’ala- dan jika ada kekeliruan, maka itu dari diri seorang hamba yang lemah dan bisikan setan yang terkutuk. Kami bertaubat kepada Alloh atas segala kesalahan yang terjadi.

والحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات

Ditulis: Mushlih bin Syahid Abu Sholeh Al-Madiuniy -ro’ahulloh- (15 Dzulhijjah 1435H)

Maroji':
- Tafsir Muyassar, kumpulan ulama tafsir Saudi, pengantar Syaikh Sholeh Alu Asy Syaikh.
- Syarh Mandzumah Ushul Fiqh, bab Aqsam Fi’il Nabi, karya Al-’Allamah Ibnu ‘Utsaimin -rohimahulloh-.
- Iqtidho’ Shirothol Mustaqim, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -rohimahulloh-.
- Irsyadul Fuhul, karya Imam Asy-Syaukaniy -rohimahulloh-.
- Al-I’tishom, karya Imam Asy-Syathibiy -rohimahulloh-.
- Hujjatun Nabi -shollallohu ‘alaihi wa sallam-, karya Imam Al-Albaniy -rohimahulloh-.
Al-Muwafaqot, karya Imam Asy-Syathibiy -rohimahulloh-.
-Fadhlu ‘Ilmis-Salaf ‘Alal-Kholaf, karya Imam Ibnu Rojab -rohimahulloh-.
- Fatawa Al-Albaniy -rohimahulloh-.
- Ittiba’ Laa Ibtida’, Qowaid wa Asas fii As-Sunnah wal-Bid’ah, oleh Hisamuddin ‘Afanah.
- Syarh Ushul Min ‘Ilmil Ushul, oleh Al-’Allamah Ibnu ‘Utsaimin -rohimahulloh-.





























lembaran-lembaran ilmiah • وما توفيقي إلا بالله • mushlihabusholeh.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar